Om Swastyastu


ahamānah samārambhān yadi nāsādayeddhanam, tapo mahat samātiṣṭenna hyanuptaṁ prarohati.
(Sārasamuccaya. 293)

Terjemahan: Singkatnya orang yang tidak berhasil usahanya; tidak mendapatkan harta/tujuannya, meskipun telah diusahakan dengan giatnya untuk memperoleh yang dikejarnya itu, maka sebaiknya ia segera bertapa, oleh karena tidak akan ada yang tumbuh, jika tidak. ada yang ditanam (dibibit) lebih dahulu; kesimpulannya ada yang ditanam ada yang tumbuh (jadi orang yang tidak berhasil usahanya) dahulu ia tidak melaksanakan dharma.

Menyitir Sloka di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya tiada kegagalan dalam hidup. Yang ada hanyalah keanekaragaman dari berbagai pengalaman. Kita belajar dari pengalaman, bukan dari kegagalan.

Kita menjadi berani bukan karena sulitnya tantangan-tantangan yang kita hadapi; tetapi tantangan-tantangan jadi tampak sulit karena kita tidak berani dalam berusaha.

Untuk itu, kita tidak boleh ragu untuk berdoa dan berusaha, bahkan ketika kita tak menemukan kata untuk dipanjatkan, yakini bahwa Tuhan selalu mengerti bahasa doa kita, dan akan memberikan jalan bagi kita yang tidak pantang menyerah.

mutiaradharma: “Karena kesanggupan Tuhan memberikan karuniaNya bersifat tak terbatas. Pembatasan itu justru disebabkan oleh kekurangsyukuran kita sendiri sendiri”.

Bahkan sebagai ciptaanNya, tak jarang DIA kita lupakan di tengah keberhasilan dan kesuksesan yang kita raih. Namun DIA tidak pernah membatalkan atau menghancurkan rancanganNya hanya karena DIA dilupakan.

Ketika kita berdoa untuk orang lain, Tuhan mendengarkan kita dan memberkati mereka; dan ketika kita aman dan happy, ingat bahwa orang lain juga telah mendoakan kita

Dari hal tersebut; ketika kita mencapai suatu Keberhasilan, kita semestinya dapat menginspirasi bahwa tantangan adalah hal yang sedemikian menyenangkan bagi perjalanan kita dalam mencapai tujuan akhir.
Mari kuatkan Sraddha dan Bhakti, bahwasanya Tuhan itu Maha Berkarunia. Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om
Oleh: I Wayan Sudarma

Om Swastyastu

Yato va imani bhutani jayante, Yena jatani jivanti, Yatprasanty abhisam visanti, Tad vijinasasva, tad brahmeti. ( Taittriya Upanisad III. 1)
Artinya : Dari mana semua yang ada ini lahir. Dengan apa yang lahir ini hidup, kemana mereka masuk ketika kembali, ketahuilah, bahwa itu Tuhan.

Atas semua itu, Tuhan mempunyai hukum tersendiri di luar kuasa hukum manusia, itulah hukum alam. Hukum ini di dalam Weda disebut Rta. Hukum alam tidak mampu ditentang manusia, sebab hukum ini sifatnya abadi dan berlaku universal.

Bila manusia berhadapan dengan hukum alam, maka manusia hanya dapat bertahan, tetapi tidak kuasa melawannya. Hal itu disebabkan kemampuan manusia sangat terbatas untuk bertahan terhadap hukum alam, dan pertahanannya bersifat sementara. Apabila tenaga manusia telah habis, maka kembali manusia di bawah kuasa hukum ini. Siapakah yang kuasa atas hukum alam ini, jawabannya hanya satu yaitu Tuhan.
Karena kekuasaan Tuhan atas hukum alam inilah Tuhan disebutkan sebagai Rtawan. Jadi, semua kehendak Tuhan, manusia dan seluruh alam ini tidak mampu membantahnya. Bila manusia lapar, manusia hanya bisa menahan lapar, tetapi tidak kuasa menghilangkan lapar tanpa makan.

Untuk serasi dengan hukum alam, maka manusia harus makan yang patut dimakan. Jika manusia tidak makan, maka ia kena hukum lapar sehingga jatuh sakit. Lapar itu hukum alam yang tidak kuasa dibantah. Bagaimana pun hebatnya manusia itu, apakah ia seorang sakti mandraguna, berkuasa, berwibawa semuanya tunduk dengan hukum lapar itu. Tidak pernah disaksikan seorang manusia yang sakti, seorang, manusia sebagai pemimpin yang berkuasa atas semua benua, dia tidak pernah lapar dan tidak makan. Demikian juga dengan hukum alam yang disebut Bencana Alam; Penyakit, Gempa Bumi, Tsunami, Gunung Meletus dan lain sebagainya. Manusia tidak kuasa melawannya. Jika Tuhan menghendaki terjadinya Gempa dan meluluhlantakkan kampung, kota, bangunan dengan segala isinya, maka tidak ada kekuatan manusia yang mampu manandingi ganasnya pergerakan dahsyat dari alam tersebut.

Manusia harus sadar bahwa Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam ini selalu berjalan tanpa pernah berhenti. Di dalam konsep Bhagawagita, Tuhan tidak pernah berhenti berkerja dan tidak pernah akan berhenti. Sedetik saja Tuhan berhenti berkerja, maka alam raya ini akan hancur lebur, termasuk melebur alam ini dengan bencana alam.

Hukum alam telah mengatur semua alam ini di bawah kuasa Tuhan. Tuhan di dalam Mandukya Upanisad I.7. diibaratkan seperti laba-laba yang mengeluarkan dan menarik benangnya (yathorna nabhih srjate ghaanate ca). Demikianlah alam ini ini muncul dan kembali ke asalnya ( sangkan Paraning dumadi ).

Beliaulah asal semua yang ada ini dan kepada-Nya-lah semua ini kembali. Bencana alam seperti yang telah disebutkan di atas adalah proses Tuhan mengembalikan ( melebur ) alam ke asalnya, sebab di dunia ini semuanya dibatasi oleh waktu yang ditentukan Tuhan. Di dunia ini semua ciptaan Tuhan melalui proses Trikona (utpati, stiti, dan pralina ).

Lalu apakah yang harus dilakukan manusia ketika terjadi proses ini, apakah hanya pasrah? Kepasrahan saja tidak menyelesaikan masalah, namun yang harus dilakukan manusia harus ‘mulat sarira’ bahwa kematian itu tidak ada yang bisa menebaknya dan di dunia ini yang selalu dipupuk adalah perbuatan baik (subha karma ) yang membawa keharmonisan bagi diri sendiri dan juga orang lain. Melalui perbuatan itulah manusia yang selamat dari amukan bencana, harus tergerak hatinya untuk membantu saudara-saudaranya yang menjadi korban keganasan alam itu. Bencana alam bukanlah hukuman Tuhan, tetapi adalah proses alam semesta yang digerakan oleh hukum alam.

Maka, manusia yang dahulunya telah menanamkan karma baik sebelum mengalami kematian, niscaya akan membuahkan karma yang baik. Bagaimana halnya dengan manusia yang lebih dahulu meninggal dan belum sempat berbuat baik? Itulah yang patut dipikirkan oleh manusia yang masih hidup agar tidak menteladaninya.

Dalam konsep Hindu hidup ini hanyalah sementara saja ( kadi kedeping kilat ), bagai kilatan petir hanya sebentar. Sangat sayang apabila tidak dipergunakan untuk memperbaiki hidup. Termasuk membantu sesama, seperti jalan yang diamanatkan dalam kitab suci Weda sebagai jalan mulia dilandasi Dharma (anresangsya muktianing Dharma). Dengan peduli dan mendahulukan kepentingan kemanusiaan, manusia telah menanam buah karma yang baik dan akan dipetik oleh si penanam itu sesuai dengan kadar ketulusan atau keiklasannya saat memberikan bantuan. Mari lebih bersemangat menanam karma-karma kebajikan dalam hidup saat ini. Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om
❤️ I Wayan Sudarma

Om Swastyastu

Semua orang yang pernah singgah dalam hidup kita bagaikan manik-manik pembentuk mosaik catatan sejarah.

Gambaran itu sebenarnya telah
terbentuk, hanya saja tidak pernah
selesai atau salah lihat sehingga
tidak bisa dinikmati keindahannya. Ambillah waktu sejenak untuk mengenang yang pernah hadir dalam hidup kita. Kenanglah seluruh kebaikannya yang tersembunyi di balik tabir kekecewaan….

Jika cinta ungkapkan saja, katakan apa yg dirasakan. Jangan peduli kata orang lain karena hidup ini kita yang menjalani… 

Jika dia yang terbaik, dia tidak akan menyakiti. Tidak perlu meratapi orang yang melukai kita, biarkan dia pergi…

Hidup ini ibarat lukisan & tidak harus membuatnya penuh warna warni tetapi membuatnya berarti dengan warna warni yang dimiliki…

Om Santih Santih Santih Om

❤️ @waysudarma

Om Swastyastu
Selasa (23/4/2024) umat Hindu merayakan tiga hari suci sekaligus, yakni Purnama sasih Jyestha, Kajeng Kliwon, Anggara Kasih Tambir. Tentu Ini merupakan hari yang sangat istimewa untuk lebih mendekatkan diri kepada Hyang Widhi.

Apa makna ketiga hari raya itu, dan apa yang mesti dilaksanakan oleh umat Hindu?

Hari Suci Purnama
Diperingati sebulan sekali yaitu saat bulan penuh atau sukla paksa. Menurut teks Lontar Sundarigama dikatakan bahwa Purnama merupakan payogan Sang Hyang Candra: “Mwah hana pareresikan nira sang hyang rwa bhineda, makadi sang hyang surya candra, yatika nengken purnama mwang tilem, ring purnama sang hyang ulan mayoga, yan ring tilem sang hyang surya mayoga”.

Bulan Purnama

Artinya:
Ada lagi hari penyucian diri bagi Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang juga disebut Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu saat tilem dan purnama.
Saat purnama adalah payogan Sang Hyang Wulan (Candra), sedangkan saat tilem Sang Hyang Surya yang beryoga.

Lebih lanjut dalam teks lontar Sundarigama disebutkan: “Samana ika sang purohita, tkeng janma pada sakawanganya, wnang mahening ajnana, aturakna wangi-wangi, canang nyasa maring sarwa dewa, pamalakunya, ring sanggar parhyangan, laju matirtha gocara, puspa wangi“.

Purnama juga merupakan hari penyucian diri lahir batin. Oleh karena itu semua orang wajib melakukan penyucian diri secara lahir batin dengan mempersembahkan sesajen berupa canang wangi-wangi, canang yasa kepada para dewa, dan pemujaan dilakukan di Sanggah dan Parahyangan, yang kemudian dilanjutkan dengan memohon air suci.

Hal ini sejalan dengan pesan Bhagawad Gita, XVII. 25, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pensucian diri (tapa brata) merupakan salah satu jalan mencapai pembebasan;
Tat ity anabhisanshaya
Phalam yajna-tapah-kriyah,
Dana-kriyas ca vividhah
Kriyante moksa-kansibhih

Yang artinya: melalui ucapan “Tat” dan tanpa mengharap-harap pahala atas penyelenggaraan ucapan yajna, tapabrata, dan juga dana punia yang berbagai macam jenisnya, dilaksanakan oleh mereka yang mengharapkan moksa.

Kajeng Kliwon
Selain itu, limabelas hari sekali, Umat Hindu merayakan hari Suci Kajeng Kliwon, yang merupakan hari suci yang jatuh berdasarkan pertemuan antara Tri Wara terakhir yakni Kajeng dengan Pancawara terakhir yakni Kliwon.

Terkait Pancawara Kliwon, dalam teks Lontar Sundarigama ada disebutkan:
Nihan taya amanah, kunang ring panca terane, semadi Bhatara Siwa, sayogia wong anadaha tirtha gocara, ngaturaken wangi ring sanggar, muang luwuring paturon maneher menganing akna cita.
Wehana sasuguh ring natar umah, sanggar, ring dengen, dening sega kepel duang kepel dadi atanding, wehakna ada telung tanding, iwaknia bawang jae.
Kang sinambat ring natar, Sang Kala Bucari.
Ring sanggar Bhuta Bucari.
Ne ring dengen, Sang Durga Bucari
Ika pada wehana labaan, nangken kaliyon, kinon rumaksa umah, nimitania. Pada anemu sadia rahayu. Kunang yan kala biyantara keliyon, pakerti tunggal kayeng lagi.

Ini berarti saat Pancawara Kliwon, merupakan payogan atau beryoganya Bhatara Siwa.
Pada saat ini sepatutnya melakukan pensucian dengan mempersembahkan wangi-wangian bertempat di merajan, dan diatas tempat tidur.
Sedangkan di halaman rumah, halaman merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, patut juga mempersembahkan segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut, disuguhkan tiga tanding yaitu:
Di halaman merajan, kepada Sang Bhuta Bhucari.
Di pintu keluar masuk, kepada Sang Durgha Bhucari.
Dan untuk di halaman rumah, kepada Sang Kala Bhucari.

Maksud persembahan berupa labaan setiap Kliwon ini untuk menjaga agar pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi sempurna.

Gambaran Dhurga simbol Kajeng Kliwon

Sementara untuk Kajeng Kliwon juga disebutkan:
Kadi ring keliwon nemu atutan kewala tambehane sega warna limang warna, dadi awadah, ring dengen juga genahing caru ika, ika sanding lawang ring luur, aturane canang lenga wangi burat wangi, canang gantal, astawakna ring Durga Dewem, ne ring sor, ring Durga Bucari, Kala Bucari buta Bucari, palania ayu paripurna sira aumah, yania tan asiti mangkana I Buta Bucari, aminta nugeraha ring Bhatari Durga Dewem, mangerubadin sang maumah, angadakakan desti, aneluh anaranjana, mangawe gering sasab merana, apasang pengalah, pamunah ring sang maumah, muang sarwa Dewa kabeh, wineh kinia katadah da waduanira Sang Hyang Kala, nguniweh sewaduanire Dewi Durga, tuhunia mangkana, ayua sira alpa ring wuwus manai.

Sementara itu pada hari Kajeng Kliwon untuk upakaranya sama seperti pada hari Kliwon, hanya tambahannnya yaitu segehan lima warna lima tanding. Di samping kori sebelah atasnya dipersembahkan canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, dan yang dipuja ialah Hyang Durga Dewi. Yang disuguhkan di bawahnya untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, dengan tujuan agar berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah.

Jika tidak melakukan hal itu, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon penugrahan kepada Bhatara Durga Dewi, untuk mengganggu penghuni rumah, dengan jalan mengadakan gering atau penyakit dan mengundang kekuatan negatif segala merana, mengadakan pemalsuan, yang merajalela di rumah, yang mana mengakibatkan perginya para Dewata semuanya, dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sang Hyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatara Durgha.

Terkait Kajeng Kliwon dikenal ada dua jenis, yaitu: Kajeng Kliwon Uwudan dan Kajeng Kliwon Enyitan.

Kajeng Kliwon Uwudan merupakan hari baik untuk menghidupkan ilmu hitam atau pengiwa.
Dan untuk Kajeng Kliwon Enyitan merupakan hari baik untuk membuat sasikepan (jimat) atau sesuatu yang berkekuatan gaib.
Kajeng Kliwon Uwudan ini adalah Kajeng Kliwon yang diperingati setelah Purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan dilaksanakan setelah Tilem.

Selain itu adapula Kajeng Kliwon Pamelastali, yang dilaksanakan saat hari Minggu wuku Watugunung.

Anggara Kasih Tambir
Sedangkan Anggara (Selasa) Kliwon Tambir merupakan hari Suci Hindu jatuh setiap enam bulan sekali atau yang biasa disebut Anggara Kasih Tambir. Anggara Kasih Tambir merupakan hari suci atau rerahinan yang jatuh berdasarkan pertemuan antara Saptawara yaitu Anggara, Pancawara yaitu Kliwon, dan wuku Tambir.

Bhatara Siwa sebagai Sumber Pensucian Bhuana Agung dan Bhuana Alit

Terkait Anggara Kasih, dalam teks lontar Sundarigama, disebutkan:
Nahanta waneh, rengen denta, Anggara Keliyon ngarania Anggara Kasih, pekenania pengasianing raga sarira. Sadekala samana yogia wang amugpug angelakat sealaning sarira, wigenaning awak, dena ayoga wang apan ika yoganira, Betara Ludra, merelina alaning jagat teraya, pakertinia aturakna wangi-wangi, puspa wangi, asep astanggi muang tirta gocara.

Artinya:
Yang lain lagi yang perlu diperhatikan, ketika Anggara bertemu Kliwon disebut sebagai Anggara Kasih. Anggara Kasih merupakan hari untuk mewujudkan cinta kasih terhadap dirinya.
Sehingga pada hari itu sepatutnya melakukan peleburan bencana, dan merawat dari diri segala kecemaran. Kecemaran ini utamanya kecemaran pikiran yang melekat pada diri. Caranya yaitu dengan jalan melakukan renungan suci.
Karena dalam keadaan yang demikian, Sang Hyang Ludra melakukan yoga, yang bertujuan memusnahkan kecemaran dunia. Adapun sarana upakara yang dipersembahkan yaitu wangi-wangi, dupa astangi, dan dilanjutkan dengan matirtha pembersihan.

Demikian ulasan singkat ketiga hari suci yang istimewa yang dirayakan dihari yang bersamaan. Mari jadikan hari yang baik ini untuk melaksanakan persembahyangan, dan melakukan tapa, brata, yoga, samadhi, dana punia, dan pelbagai perbuatan bajik lainnya. Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om

I Wayan Sudarma @way_sudarma
*disunting dari berbagai sumber

raung menggunung
syair mengaum
di pinggir hutan
dan pusat kota

menantang garang
siapkan senapan
mengarah ke kepala
dusta penguasa

tak ada teras tuk orasikan
apalagi mimbar tuk suarakan
air mata dan keroncongan
di ruang sidangmu jadi gurauan

Photo Di Candi Prambanan

kami jelata
tak punya kata kuasa
singkirkan nista
di negeri tercinta

kami milik bumi
bukan milik para petinggi
yang merampas azasi
memenuhi peti besi
dengan lembaran obligasi
bercap darah dan keringat kami

hanya kamu
ya, hanya padamu
rajaku pembantuku
kami berseru…

siapkan nasi untuk kami
sarapan pagi
agar kami bisa mengikuti
upacara pemakaman nurani
yang mati siang nanti

sebelum ku mati
ku beri kau melati
tanpa wangi
harumkan peti

karena wangi itu tak akan mampu
membuat semesta terkesima
hanya wangi palsu belaka
….

kami tidak mencaci
tolong pahami ungkapan hati
kau para punggawa negeri
berilmu tinggi, jangan hina dianggap teri

warisan leluhur yang kau sangkakan monumen mati
tapi memberi hidup tak berhingga perut
malulah pada leluhur negeri
makan dan tidur nyenyak berselimut munafik

inilah suara jelata
padamu…..

@waysudarma

Om Swastyastu

Bila kita dengar kata “klenik,” barangkali yang tiba-tiba muncul di benak kita adalah ruang untuk kedokteran.

Klenik bukan klinik, klenik lebih klenis.

Kata klenik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan mistik, sebagai
sebuah kegiatan perdukunan dengan cara-cara yang sangat rahasia dan acapkali tidak masuk akal, tetapi dipercayai banyak orang dengan
mempersembahkan harapan-harapan mereka.

Klenik  sering dikaitkan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia gaib, paranormal, dukun, makhluk halus, jimat, jin, siluman dan sejenisnya. Jika kita bicara klenik maka yang dipikirkan adalah hal-hal yang tidak dapat dilihat dengan mata dan dianggap mempunyai hubungan langsung dengan manusia.

Mistik sendiri diartikan sebagai hal gaib yang tidak terjangkau nalar manusia.

Klenik, mistik, itu adalah kekuatan gaib yang tidak dijangkau akal manusia. Maka disebut hal yang tidak terjangkau nalar itu adalah misteri.

Bahkan sering orang menyebutkan klenik ini terkait soal percaya pada kemakuasaan Tuhan, dan menyebutnya dengan keyakinan. Inilah fenomena.

Bahasa manusia sepertinya terlalu sederhana membahasakan sebuah fenomena. Tetapi terlalu naif juga kalau semua kejadian kita sebut gaib, tanpa ada nalar hadir menakar, meniadakan ruang untuk mengkritisi hal yang muskil.

Hakikatnya, kita harus menghormati fakta. Tetapi semua yang tidak masuk akal harus dikritisi. Fakta juga tidak boleh mentah-mentah ditelan tanpa dikritisi.

Semua kejadian bisa saja disebut klenik jika bergantung pada perspektif bagaimana sesuatu itu terjadi. Nyatanya, dunia ini dipenuhi
orang-orang yang percaya pada klenik, percaya yang gaib, percaya mistik.

Dalam kesempatan ini perkenankan saya menjelaskan secara utuh kaitan dunia nyata dan kaitannya dengan dunia klenik, dunia gaib. Karena sebenarnya dua bagian ini berhubungan langsung satu dengan yang lain.

Alam semesta terdiri dari dua dunia, dunia nyata dan dunia tidak nyata. Dunia nyata adalah dunia yang dapat dilihat dengan indria penglihatan secara langsung, sedangkan dunia tidak nyata adalah dunia yang tidak dapat dilihat secara langsung menggunakan indria penglihatan secara langsung. Dunia tidak nyata ini sering disebut dengan dunia gaib, klenik, rohani/spiritual, bahkan disebut dunia  perdukunan.

Dunia nyata adalah bagian dari alam semesta yang dihuni oleh manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sebenarnya ada lagi makhluk hidup yang tinggal di dalamnya, yaitu air, udara,  tanah, dan api serta ether (Panca Maha Bhuta). Sayang ke lima unsur alam ini  secara science tidak diakui sebagai makhluk hidup karena mereka tidak tumbuh dan bergerak. Bagi dunia spiritual Jawa, Bali  dan China ke lima unsur kehidupan ini adalah pembentuk dasar kehidupan di alam semesta, bagian dari setiap makhluk hidup. Pemahaman makhluk adalah segala sesuatu yang diciptakan Tuhan, sedangkan yang diciptakan manusia adalah benda. Lhoh kok begitu. Contohnya mudah, silahkan Tanya kepada pawang hujan, air itu bisa diajak bicara, buktinya hujan bisa digeser. Saya yakin itu bukan kebetulan. Demikian juga dengan angin. Angin bagi pereda angin menjadi sesuatu yang bisa diredakan.

Photo: Google

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mengaku dirinya paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk lain karena memiliki akal. Iya, paling sempurna diantara makhluk hidup yang dapat dilihat dengan mata.

Dimanakah makhluk-makhluk hidup yang tidak kelihatan itu dan bagaimana hubungannya dengan dunia kita, dunia nyata?

Perumpamaan sederhana ini dapat dipakai untuk menggambarkan alam semesta dan seisinya. Di dalam tubuh manusia terdapat bermacam-macam organ tubuh. Di dalam organ tubuh terdapat sel-sel pembentuk organ. Ada sel tulang, sel otot, sel di dalam daging, sel rambut, sel darah, dan seterusnya. Setiap sel masing-masing organ tidak bisa melihat sel di bagian organ lainnya. Sel tulang tidak bisa melihat sel mata, sel jantung tidak bisa melihat sel hati, demikian seterusnya. Mungkin bisa jadi hanya sel darah yang bisa melihat semua sel organ tubuh karena dia beredar di seluruh bagian tubuh.

Semua sel itu hidup, berkembang biak dengan membelah diri. Sel tulang juga hidup karena selalu tumbuh dan berkembang biak, dari kecil menjadi besar, dari anak-anak menjadi dewasa. Kehidupan kecil selalu menjadi pendukung bagi kehidupan yang lebih besar demikian seterusnya, membentuknya menjadi satu mahluk, yaitu manusia.

Demikian juga dengan alam semesta. Alam semesta yang dapat dilihat dengan mata adalah alam semesta yang dapat dilihat melalui raga, alam lahir. Sedangkan alam semesta yang tidak bisa dilihat dengan mata adalah alam semesta yang dapat dilihat melalui mata hati, melalui bathin, melalui proses spiritual. Dunia bathin, dunia yang berdampingan secara langsung dengan manusia dihuni oleh berbagai macam dimensi kehidupan. Dimensi Jin, dimensi arwah, dimensi siluman, dan pelbagai dimensi astral lainnya. Alam mereka juga berbeda-beda, dunianya sendiri-sendiri. Mereka hidup dalam kelompoknya. Seperti ikan hidup dengan sesama ikan di kolam. Seperti semut hidup bersama semut di dalam habitatnya. Belum tentu tiap bagian bisa melihat bagian yang lainnya.

Pembelajaran bathin yang dilakukan manusia untuk memahami semua itu adalah mendalami  ilmu bathin tertinggi, yaitu menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dalam proses kehidupan menjalani swadharma dengan ikhlas, berserah kepadaNya. Bagi para manusia yang mampu mengurangi dan mematikan keinginan nafsu badaniah dan lahiriah  maka dunia bathin ini menjadi sesuatu yang bisa dilihat dengan jelas. Mempelajarinya sama halnya mempelajari keilmuan di dunia nyata. Mereka hidup, berbahasa (bahasa universal), berkomunikasi. Berdampingan langsung dengan kita.

Masak mau bilang dunia gaib tidak ada, wong jelas dan nyata. Contoh misalnya; Masak mau dibilang bukan jin, wong yang terlihat memang jin, wong samar, tonya, dan sebagainya. Seandainya semua manusia bisa memahami dunia gaib secara jelas maka, betapa mengerikannya bahwa di dalam darah manusia adalah tempat tinggal para mamhluk gaib yang paling nikmat selain batu akik dan tosan aji.

Masyarakat Bali memberikan tempat buat para makhluk gaib yang hidup di sekitar mereka dengan mendirikan dan pura untuk Hyang Bahu Rekso, Pedanghyangan pada masyarakat Jawa masih mempercayai adanya Danyang atau Danghyang sebagai cikal bakal suatu tempat. Diakui dengan adanya keseimbangan dalam hidup berdampingan yang saling menghargai dapat dilihat, masyarakat Bali lebih nyaman, bahkan karena alam yang terjaga justru menarik para wisatawan yang memberikan kehidupan kepada masyarakat Bali. Maka benarlah kata filosofi, jagalah alam, maka alam akan menjagamu. Hidupkanlah alam, maka alam akan menghidupimu. Filosofi Bung Karno dengan dedication of lifenya, mengabdi kepada kehidupan. Demikian juga Sri Sultan HB IX, hidup dan menghidupkan.

Tanpa disadari, agama adalah salah satu bagian dunia yang tidak terlihat ini. Ajaran agama mengajari kebenaran universal yang berlaku di semua dimensi. Aturan dan tatanan yang diakui kebenarannya di semua lapisan dimensi nyata dan gaib. Proses transformasi kehidupan melewati dua dunia saling bergantian, lahir dan mati. Lahir di dunia nyata dan mati masuk ke dunia gaib. Doa yang dipanjatkan adalah harapan dan kerja manusia di dunia gaib. Dogma agama dan keyakinan yang dimanifestasikan dalam doa dan ibadah adalah benang merah antara dunia bathin dan dunia nyata, untuk menjalankan proses kehidupan agar sesuai dengan yang diharapkan.

Di dalam alam semesta ini terjadi banyak transformasi kehidupan. Semua makhluk hidup dan mati  mengalami siklus,  daur alam dan kehidupan.  Siklus tidak hanya terjadi pada air, udara (melalui fotosintesis),  dan tanah.  Begitu juga tumbuhan, binatang, dan manusia.  Siklus ini melalui berbagai fase, fase yang tertangkap oleh indria dan yang tidak tertangkap oleh indria manusia.

Contoh: Ikan mati, selesai fase kehidupan di dunia, berikutnya jasadnya melapuk menjadi tanah (daur tanah), kemanakah rohnya? Roh ikan akan hidup di dalam dimensi yang tidak terlihat oleh manusia. Dan akan kembali ke dunia lagi apabila ada suatu keadaan yang akan memungkinkan untuk lahir atau muncul di habitat yang sesuai. Bisa saja roh ikan akan bertransformasi di dimensi lain, di luar kehidupan bumi. Karena perjalanan antar dimensi sangat memungkinkan bagi mahluk berwujud roh. Roh adalah makhluk yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.

Gambaran di atas bisa menjawab mungkinkah ilmuwan menemukan makhluk hidup di luar angkasa? Ataukah manusia akan hidup di luar angkasa? Maka saya akan menjawab bahwa setiap mamhluk hidup mempunyai habitat sendiri-sendiri, dan jangan keluar dari habitatnya karena mereka akan mati. kecuali ikan di bawa ke tempat lain dengan airnya. Tanaman dipindahkan dengan tanahnya, demikian seterusnya.

Kehidupan mempunyai  lapisan-lapisan  dimensi dengan segala variasinya, dan manusia menempati dimensi bumi. Maka di planet-planet yang lain juga ada kehidupan, karena disana ada dimensi. Tetapi yang harus diterima adalah bahwa kehidupan di tempat lain tidak bisa dilihat oleh indria. Maka jangan pernah bermimpi untuk menemukan kehidupan yang tertangkap oleh mata di planet yang lain. Jika kita melihat pohon beringin yang sudah sangat tua dan besar  dengan mata telanjang, adakah kehidupan di sana? Jawabannya iya, jika itu serangga dan sejenisnya. Tetapi bagi mata bathin yang hidup bisa saja jawabannya menjadi seperti ini. Di pohon beringin itu ada seorang peri, apsara, dan ada roh roh suci. Sangat memungkinkan, dan itu adalah hal nyata di kehidupan ini. Tidak nyata buat ilmuwan karena mereka tidak melihat. Hidupkanlah bathinmu dan kamu akan mengerti akan apa yang ada di sana.

Manusia terdiri dari badan wadag (raga), pikiran, dan perasaan. Setiap bagian harus diolah secara seimbang. Sesuai dengan porsinya agar tidak njomplang. Badan wadag diberi makanan dengan  olah kanuragan hingga badan tetap sehat dan bisa menjalani hidup dengan baik. Pikiran berada di akal manusia dan diolah dengan belajar secara nyata di sekolah-sekolah. Membaca dan menulis, berhitung adalah bagian dari pengolahan pikiran. Indikasi keberhasilannya adalah kecerdasan intelektual. Dan saat ini, termasuk akademisi banyak  mengolah dengan baik pada dua bagian ini.

Yang terakhir adalah perasaan, atau hati nurani. Ada yang bilang tempatnya di jantung, tetapi ada juga yang bilang tempatnya di hati. Tetapi sebenarnya keduanya sama saja, yaitu  untuk olah roso, olah hati. Olah roso dilakukan dengan mematikan raga menghidupkan bathin. Atau mencari cahaya, hati nurani, mata hati, apapun namanya. Pengolahan hati berbanding terbalik dengan pengolahan raga. Kenikmatan raga adalah memenuhi keinginan diri, dan kenikmatan hidup. Sedangkan kenikmatan raga mematikan mata hati, mematikan mata bathin. Jika manusia hanya mengolah pikiran saja tanpa mengolah bathin ibarat seperti monyet dipakaikan baju

Semua harus diberikan seimbang sesuai dengan porsinya masing-masing. Agar manusia bisa menjalani hidup dalam sebuah harmoni dan keselarasan dengan semesta. Di dalam ajaran Hindu dimaknai dalam istilah Tri Hita Karana.

Jika ada lagi yang bicara tentang kemusrikan, klenik itu bohong dan tidak logis, maka perlu bagi yang bersangkutan untuk mengolah kecerdasan spiritualnya dengan menjalankan  ilmu bathin tertinggi dengan iklas dan pasrah, mengerjakan yang sunah selain yang wajib. Maka di sanalah akan ditemukan jawaban kehidupan.

Hidup adalah keseimbangan. Semua sesuai dengan porsinya. Lahir dan bathin, akal dan rasa. Hidupkanlah bathinmu dengan mematikan ragamu, maka kamu akan melihat dengan rasa, dengan hati sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh raga.

Bukan menyebut yang mistik itu tidak ada. Di antara ada-tidak-ada, tapi ada, itu klenik.
Bicara soal klenik, kita tentu membicarakan kekuatan di luar logika……bahkan tak sedikit yang berguman…..kalau klenik itu merupakan kekuatan jin atau kekuatan setan.

Masyarakat Indonesia saat ini misalnya, masih percaya kalau ingin kaya mendadak pelihara “Begu Ganjang (Batak), Brerong (Bali), Babi Ngepet (Jawa), dan sebagainya.” Begu Ganjang, Brerong, Babi Ngepet…. dipelihara untuk mencuri harta orang lain, tetapi
ada tumbal si begu, si brerong, si babi ngepet meminta tumbal. Antara percaya dan tidak percaya dengan keberadaan kekuatan gaib, dan inilah klenik.

Klenik memang asyik untuk ditelisik, karena klenik itu unik dan sangat menarik siapa saja, mulai dari mereka yang doyan barang antik,  hingga kaum fanatik tapi juga munafik.

Makanya tak berlebihan jika saya nyatakan bahwa:  “Klenik adalah Sebuah Realitas Yang Berdampingan Dengan Dunia Nyata”.

Bagi mereka yang berpikiran Logis akan menganggap Klenik sebagai hal yang Musrik. Namun tatkala mereka mau menyentuhkan Rasio dengan Rasa- saat itu ia akan mendapati dan setuju bahwa Klenik adalah Kenyataan.

Semoga Pengantar singkat ini dapat menambah kasanah wawasan kita bersama. Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om
❤ I Wayan Sudarma (Jero Mangku Danu)©

* Jogjakarta, 19 Desember 2016

Om Swastyastu
Dalam perjalanan berat Peranda Sakti Wawu Rauh di bumi Bali, istri beliau, Danghyang Biyang Ketut atau disebut juga Danghyang Biyang Patni Keniten dari Belambangan, yang kelelahan seakan tak kuasa lagi mengangkat kakinya. Beliau dalam keadaan hamil tua, seluruh persendian kakinya membengkak dan ngilu dan nyeri. Padahal perjalanan masih sangat jauh.

Photo: Pura Melanting

Malang benar, Peranda Suci Nirarta yang bijak itu sempat terbimbang sesaat hatinya, ingin direlakannya mengorbankan waktu menemani, tetapi mengingat pentingnya perjalanan dilanjutkan menuju ke timur secepatnya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan belahan jiwanya sementara di tempat itu, ditemani salah satu putrinya, Dyah Ayu Swabawa. Putra-putrinya yang lain diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan. Kelak sesampainya perjalan Danghyang di tujuan, akan diutusnya pengikutnya menjemput mereka.

Jadilah Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan lelah sampai sehat benar, membangun huma, berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahndanya.

Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun semakin besar dan tumbuh menjadi putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh pesona, dari wajahnya memancar wibawa kepemimpinan yang lebih dewasa dari umurnya. Di tangannya yang lembut, segala hal akan menjadi jauh lebih baik dan berguna. Jadilah beliau kesayangan masyarakat, tempat orang bertanya-tanya. Kecerdasannya nampak dalam ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat pembeli dengan membantu mereka memilihkan barang-barang, hanya yang terbaik untuk pembeli, bahkan sebelum pembeli itu datang dan sebelum barang itu dibelinya, niscaya mereka akan kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia.

Daerah tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu kian ramai dikunjungi saudagar dari tempat lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh menantikan munculnya utusan itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang hormat dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya sedang bepergian jauh.

Waktu terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali dengan tambatan hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat. Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain tidak iri hati melihatnya abadi.

Kilat menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai, warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang. Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian.

Ida Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi… Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara.

Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewayu Melanting yang bijak dan Ida Bagus Ratu Samar.

Walau telah moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi dan melimpahi berkat untuk para pedagang yang mau memilihkan barang dagangan terbaik untuk pelanggan dan calon pelanggannya, di mana pun mereka berjualan, dibantu oleh Batari Manik Muncar yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk pedagang yang melanggar hukum itu, walau tak pernah tertulis, jangan harap akan mendapat kasih dan karunia dari beliau.

Om Santih Santih Santih Om

@waysudarma
* Dikutip dari berbagai Sumber: Nirartha Prakerta, Bumi Bangsu, Bumi Kamulan

Om Swastyastu
Bertemu dengan banyak orang, dari yang masih ingusan, anak-anak, remaja, sudah dewasa, bahkan sampai kakek-kakek dan nenek-nenek ternyata membawa kesan tersendiri.

Yang pasti setiap orang yang saya jumpai selalu menawarkan pelajaran baru yang sangat berharga, dari kepolosan anak-anak, semangat kaum remaja, sedikit kemunafikan dan rasa egoisme pada orang yang mengaku dewasa, dan kearifan kaum sepuh, semua adalah mata pelajaran yang sangat menarik.

Photo saat Upacara Ngertakeun Bhumi Lamba di Gunung Tangkuban Perahu, bersama tokoh Umat SeNusantara

Setiap insan adalah unik, hal ini disebabkan barangkali karena beberapa alasan; setiap insan membawa karmanya masing-masing, secara genitas kita memang berbeda, lingkungan hidup juga tak kalah penting dalam mempengaruhi pola pikir, tata ucap dan prilaku kita, sumber hidup (makan, minum, sandang); bagaimana kita mendapatkan semua itu juga berkontribusi besar dalam hidup ini, pendidikan, dan tentunya adalah kesempatan itu sendiri.

Namun apapun itu, yang pasti setiap insan memang unik, karena keunikannya inilah kita tidak bisa memperlakukan mereka secara sama, setiap insan harus didekati dengan cara yang berbeda pula, istilah ngetrennya “One Man One Method”

Bersama Tokoh Adat SeNunsantara

Menyitir ungkapan para Bijak bahwasanya setiap insan dibedakan karena beberapa hal, yakni:

🔴 Setiap insan tidak ada memiliki pikiran yang sama, karena itulah secara rohani setiap insan memang berbeda.

🔵 Setiap insan secara phisik berbeda, tak ada rupa manusia yang sama, makanya menjadi diri sendiri adalah yang terbaik. Keinginan meniru untuk menjadi orang lain hanya akan berakhir pada kesia-siaan.

🟠 Desain waktu yang kita miliki, masing-masing dari kita menggunakannnya secara berbeda-beda pula, tergantung motivasi hidup ini. Ada yang lebih banyak menggunkan waktunya untuk berkontemplasi, tapi tak sedikit yang menggunakan waktu hidupnya untuk mengejar kenikmatan duniawi, sebagian lagi untuk menggosip, dan lainnya.

Bersama umat lintas iman di Desa Langgahan-Kintamani

Walau demikian setiap insan digerakkan oleh sumber yang sama yakni ATMAN. Nah, jika kita kembali ke esesnsi yang paling hakiki ini, kita akan selalu mendapati bahwa perbedaan nama, rupa, profesi, dan kedudukan sebagai sebuah kebenaran.

mutiaradharma: “Perhatian adalah kemampuan memandang pribadi lain sebagaimana adanya, dan menyadari individualitasnya yang unik. Perhatian berarti membiarkan pribadi lain itu berkembang dan membuka dirinya sebagaimana adanya, demi dirinya sendiri dan dengan caranya sendiri, dan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri. Perhatian ada hanya atas dasar kebebasan. Jelaslah bahwa perhatian hanya mungkin jika kita dapat berdiri dan berjalan tanpa tongkat, tanpa terpaksa menguasai dan mengeksploitasi siapapun”.

Design by @waysudarma

Karena ternyata memang hanya perbedaan itulah kebenaran. Tuhan menciptakan perbedaan agar kita dapat saling memahami, memberi dan menjalin komunikasi dengan yang lain.

Tantangan bagi kita adalah bagaimana menjadikan perbedaan ini sebagai sebuah kekayaan, dan kesempatan untuk berbenah, karena setiap insan selalu lebih di sisi lainnya dan kurang di sisi yang satunya lagi. Tanpa terhubung dalam kasih, niscaya kita hanya akan hidup dalam kenisbian tanpa arah yang jelas.

Kepolosan Anak-anak beragama Budha dan Hindu di Desa Langgahan-Kintamani photo by @waysudarma

Menjabat erat tangan yang lain dengan kasih, dan belajar untuk memahami dan melayani mereka dengan ketulusan adalah sebuah keharusan. Ayo kita coba….! Manggalamastu 🙏

Om Santih Santih Santih Om


Oleh: I Wayan Sudarma
Bali, 11 Februari 2024

Om Swastyastu
Jika saya memiliki kekuatan Supranatural, saya akan membawa Anda ke Tanah Sucinya: Buddha, Krishna, Rama, para Siddha Yogi, tanah parna Nabi, dan sebagainya….di mana segala sesuatunya indah, dan damai. Tetapi jika saya membawa Anda beserta kekhawatiran dan kecemasan ke sana, Anda akan mencermarkannya.

Untuk siap memasuki Tanah Suci, Anda harus belajar untuk menciptakan kedamaian, langkah yang terbebas dari kecemasan.

Photo saat di Candi Bumi Ayu-Palembang, 20/03/2012

Kenyataannya,…..jika Anda dapat belajar untuk memperoleh kedamaian, langkah yang terbebas dari kecemasan di atas bumi pada setiap langkah Anda, itulah sejatinya Tanah Suci.

Lokasi: Pura Ponjok Batu-Singaraja

Ketika kita merasa damai dan bebas, bumi yang kita pijak itu sendiri menjadi sebuah tanah suci. Dan semua itu bersumber dari Energi kasih sayang. Energi inilah yang dapat membantu kita dari situasi yang tersulit sekalipun.

Om Santih Santih Santih Om
@waysudarma

Om Swastyastu
Laksana pelangi, dan pesona alam yang memperindah persada~demikian untaian karma menghiasi bahtera kehidupan kita.

Jangan menunda waktu untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, lakukan kebajikan saat ini, karena kebanyakan manusia menyesal ketika batas waktu kehidupannya hendak mencapai garis finish.

Design by @way_sudarma

Laksana seekor lembu yang telah menarik sebuah gerobak yang penuh muatan dalam perjalanan yang panjang-semakin dekat matahari dengan kaki langit dan malam segera datang, semakin cepat ia berjalan, karena ia ingin mencapai tujuannya lebih cepat. Ia rindu akan rumahnya.

Demikian pula Kita: manusia~semakin tua kita, semakin sakit kita, semakin dekat kita dengan kematian: Itulah waktunya ketika kita harus mempraktikkan Dharma.

Kita tidak bisa membuat usia tua dan penyakit sebagai alasan untuk tidak mempraktikkan Dharma, atau kita hanyalah akan lebih buruk dari seekor lembu.

Jangan  pernah berkata: saya akan berbuat bajik kalau sudah tua……iya kalau sempat tua…..?? kalau tidak……??? sia-sialah hidup ini..! Mari praktikkan Segala Kebajikan saat ini, semasih kita diberi umur dan waktu.”

Untuk itu sungguh…
Jauh lebih baik berbuat kebajikan setiap hari daripada datang kepada Tuhan hanya untuk mengaku berdosa. Manggalamastu.

@way_sudarma

Om Santih Santih Santih Om