IDEALNYA PERKAWINAN
I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)-Bekasi
- Pengertian pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
- Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
- Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
- Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
- Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).
- Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
- Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
- Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
- Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
- Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
- Sistem pawiwahan
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:
- Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
- Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
- Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
- Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
- Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
- Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
- Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
- Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
- Sah dan Syarat pawiwahan
System perkawinan di Indonesia dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil
Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berbunyi;“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu tindakan administrasi Hal tersebut diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan, karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
- Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
- Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
- Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
- Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
Demikian tinjauan umum tentang idealnya perkawinan menurut Hindu
July 28, 2009 at 03:11
aio Gan dukung Pulau Komodo sebagai new7wonders
klik disini
LikeLike
December 16, 2009 at 02:07
penuntun untuk pemahaman tentang tata cara dan sarana-sarana yang berhubungan dengan perkawinan hindu penting untuk diungkapkan pada situ ini dan terima kasih atas usaha-usaha yang telah memberikan pencerahan
LikeLike
June 1, 2010 at 20:30
sami2 pak rahayu
LikeLike
April 29, 2010 at 06:47
Keren banget bli,pas banget nambahin pengetahuan…
Thank you Bli!!!
LikeLike
June 1, 2010 at 12:51
Om Swastyastu
suksma sampun mampir…wantah ampurayang antuk ketambetan……tityang ….santih
LikeLike
April 16, 2012 at 08:17
bagaimana tentang perceraian dalam pandangan agama hindu sendiri?
mohon di jawab.
🙂
LikeLike
April 17, 2012 at 10:25
Om swastyastu,
Sebuah perkawinan tentunya betujuan utk kelanggengan, tidak ada satu ajaran agama manapun, atau siapapun yang menghendaki adanya perceraian, namun kasus perceraian terjadi di semua pemeluk agama-agama yang ada. Perceraian terjadi tentu karena berbagai faktor. Dan jika ada umat Hindu, karena alasan2 tertentu kemudian ‘ingin bercerai’ mesti diputuskan melalui Pengadilan Negeri.
Suksma
LikeLike
June 15, 2012 at 15:15
Om swastyastu…
Apakah Dosa dalam Hindu bila seorang Bajang atau Teruna menikah
dengan seorang yg berstatus JANDA atau DUDA?
suksma
LikeLike
June 18, 2012 at 12:05
Om SWastyastu
Perkawinan antara seorang yang masih Bajang & Teruna dengan seorang janda & Duda bukanlah sebuah Dosa.
LikeLike
July 30, 2012 at 21:11
om swastyastu
bagaimana pendapat tentang perkawinan sebelum dan sesudah menikah serta apa kaitannya dari sisi agama hindu….
mohon jawabannya
suksma….
LikeLike
August 2, 2012 at 16:27
om swastisatu bagaimana pendapat tentang perkawinan sebelum dan sesudah menikah serta apa kaitannya dari sisi agama hindu?
LikeLike
April 16, 2013 at 08:22
Om swastyastu….
Saya shinta baru 2an memeluk hindu..
Saya senang karna bahasa2 didalam weda bahasanya yg digunakan damai n penuh makna,saya senang dgn keindahan bahasanya…kalo saya mau tau banyak mengenai seloka tentang pernikahan didalam weda ada di bab apa ya atau kalo ada dikitab lain namanya apa ya…karna saya juga tidak mengerti bahasa bali mohon di balas dgn bahasa indonesia ya…
Terimakasih..
Om shanti shanti shanti om..
LikeLike
April 20, 2013 at 23:48
Om Swastyastu
Terima Kasih karena sudah Singgah di blog ini.
Mengenai sloka-sloka tentang perkawinan banyak terdapat di kitab Manavadharmasastra ….krn isinya memang mengenai hukum2 hindu…termasuk tentang rumah tangga.
Kebetulan saya Ada kitab Manavadharmasastra lebih….kalau berkenan Akan saya kirimkan ke alamat ibu
Terima Kasih
Om Santih Santih Santih Om
LikeLike
April 20, 2013 at 23:49
Ada juga kitab khususnya tentang hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga (suami-istri-anak2), namanya kitab Grha Sutra,
LikeLike
May 7, 2013 at 09:49
Om swasti astu
Selain masalah perkawinan, mohon bapak posting mengenai masalah Mantram Gayatri & Berjapa Gayatri
Sukseme
Om shanti shanti shanti Om
LikeLike
May 10, 2013 at 20:21
Terima Kasih inputnya bapak….Akan saya usahakan
LikeLike
August 5, 2013 at 16:44
Sangat bagus.
Terimakasih Informasinya
LikeLike
September 22, 2013 at 11:52
Om swastiastu
Saya mau bertanya apakah seorang laki2 boleh menikahi adx sepupunya sendiri ? Suksma
LikeLike
September 22, 2013 at 19:58
om swastyastu
perkawinan dengan sepupu sebaiknya dihindari, disamping kurang baik secara medis, juga kurang baik dari sisi agama
LikeLike
October 2, 2013 at 12:53
Om swastiastu
Saya mau bertanya apakah seorang laki2 boleh menikahi saudara sepupunya (Ayah pihak laki2 saudara tiri dgn ayah pihak permpuan atau satu kakek) dan adakah upacara yg bisa dilakukan sbg penolak atau pembayarnya
LikeLike
October 16, 2013 at 07:16
Om Swastiyastu,
sy mau brtnya…
misalkan
ad seorng paman memlki keponak’an perempuan,kmudian paman ini menikah dg seorang perempuan dan perempuan ini memiliki adik laki2…
apakah bole adik laki2nya ini menikahi keponakan dari paman tersebut???
mohon jawaban nya
suksma
Om Santhi..Santhi..Santhi. Om
LikeLike
October 16, 2013 at 12:22
Dalam Hindu…jika perkawinan semacam ini terjadi disebut mekedengan ngad…dan dipandang kurang baik. Dan sebaiknya dihindari
LikeLike
October 16, 2013 at 13:24
mengapa harus demikian??
apa solusi yg terbaik??
apkah tdk ad upacaranya??
LikeLike
October 23, 2013 at 17:58
Saat ini secara sain kedokteran pun bisa dibuktikan bahwa perkawinan silang spt itu beresiko terjadinya kelainan DNA dan kromosom shg akan berpengaruh pd bayi (ini baru penelitian awal).
Secara agama, jika terjadi perkawinan spt ini dinamakan perkawinan danava dan dipandang kurang baik. Namun demikian perkawinan semacam ini bukannya dilarang tp dipandang kurang baik, sehingga sedapat mungkin dihindari
LikeLike
October 28, 2013 at 12:16
Bagaimana cara menjalani hubungan tanpa restu dari kedua keluarga ?
saya sudah pacaran 3 tahun, pacaraku dibesarkan oleh paman dan bibinya karena sudah ditinggal mati oleh ibunya saat melahirkan dia, dan bpknya meninggal saat dia masih kls 6 sd.
kami saling mencintai dan berjanji untuk memperjuangkan cinta kami.
kami tidak ada restu dari kedua keluarga karena bermusuhan dulu sebelum aku lahir pernah terjadi kejadian tragis keluarganya dia membunuh kakek aku dan paman aku. dan bapaku hampir saja menjadi korban yang ketiga.
bagaimana cara saya meyakinkan kedua keluarga karena kami sudah sangat saling mencintai dan berjanji utk menikah ? dan pacarku sdh berjanji untuk tidak menikah sama siapapun kecuali sama diriku.
yang aku tahu keluargaku sama keluarga pacarku masih ada hub. keluarga.
kami dirantauan sudah tinggal bersama selama 1,5 tahun tanpa diketahui keluarga, dari mimpi kami, kami sering mimpiin kakekku dan ortu kandung pacarku. kayaknya mereka sudah merestui hubungan kami.
aku bingung, pilih keluargaku atau tetap memperjuangkan cintaku, pesan orang tuaku tidak akan menikahkanku kalau sama dia.
2 jam lalu
——————-
saat ini dia masih sakit, sudah pulang dr rs dan masih dirumah bersama keluarganya, dan mereka tau kalau kami tinggal bersama, mereka menyita hp pcrku supaya tidak bisa menhubungi aku. mereka dikurung, dan tidak diijinkan kemana mana, aku takut ayu sakitnya tambah parah karena memikirkan hal ini.
aq udh 2 kali diusir dan dipanggilin satpam saat nekat jenguk dia di rs oleh kk sepupunya, karena aku pengen banget lihat kondisinya kayak gimana. sampai ayu ngamuk untuk mengejar aku. aku benar” bingung.
ini adalah rintangan yang amat berat bagiku, belum lagi nanti kalau memang dia jodohku pasti ada rintangan yang lebih berat lagi saat minta ijin ke ortuku kalau aku mau menikahinya.
LikeLike
November 11, 2013 at 12:57
Om Swastyastu
Memang cinta itu tak mengenal batas. Namun demikian cinta jika akan dilanjutkan ke ranah berumah tangga. Kita tdk bs menghindarkan diri dr keterlibatan pihak lain terutama keluarga. Dan restu keluarga sangatlah penting. Walau ada perkawinan yg tanpa restu keluarga kemudian mereka bahagia, namun restu ydk bs kita abaikan.
Saran saya….apapun yg hendak anda lakukan/jalani….pastikan bahwa keputusan itu adalah keputusan dengan resiko seminimal mungkin.
Om Santih Santih Santih Om
LikeLike
November 8, 2013 at 07:49
Om swastiastu
Saya mau bertanya apakah seorang laki2 boleh menikahi saudara sepupunya (Ayah pihak laki2 saudara tiri dgn ayah pihak perempuan atau satu kakek) dan adakah upacara yg bisa dilakukan sbg penolak atau pembayarnya
LikeLike
November 11, 2013 at 12:53
Om Swastyastu
Pernikahan antara sepupu, ada yg beranggapan baik tp ada juga yg berpendapat kurang baik.
Namun secara medis pernikahan antar sepupu disinyalir berpotensi terjadinya kelaian kromosom. Sehingga dianjurkan utk dihindari.
Secara agama jika terjadi perkawinan antar sepupu biasanya dibuatkan upacara pamyakala sebagai upacar penebusannya. Dengan harapan menghindarkan hal2 negatif yg kemungkinan bs terjadi pd perkawinan tersebut.
Om Santih Santih Santih Om
LikeLike
February 5, 2014 at 22:45
aum swastyastu, kalau bisa ditambahkan secara ringkas urutan urutan dalam meminang seorang gadis di bali, sukseme
LikeLike
February 24, 2014 at 11:24
Om Swastyastu
Bagaimana sebaiknya kita menyikapi jika ada aturan intern di tempat bekerja yang melarang menikah dengan rekan kerja? Kami seagama (Hindu), dan sangat sulit mencari pasangan yang seiman di luar Bali. Keluarga kami sudah merestui, namun belum bisa menikah karena ganjalan dari tempat kerja kami. Sementara kami juga dilarang untuk resign dari tempat kerja. Apakah hukum pawiwahan Hindu dapat dijadikan dasar untuk “melawan” aturan di tempat kerja tersebut? Matur suksma
LikeLike
February 25, 2014 at 05:35
om Swaatyastu
mungkin utk menghindari penyalahgunaan wewenang atw KKN, saran saya…..salah satu mesti pindah dr tempat dimana Anda berdua bekerja, dengan demikian Anda akan dpt melaksanakan Perkawinan sesuai rencana.
rahayu
LikeLike
March 19, 2014 at 07:44
Om Svastyastu,
Pak Mangku mohon diberikan penjelasan mengenai tujuan perkawinan sebagai 3S yakni Sanggama, Samana dan Samyoga kalau memungkinkan disertai dg sumbernya. Suksma Pak Mangku.
LikeLike
March 19, 2014 at 08:56
Om Swastastyu
Konsep Sang gama, Samana, dan Samoa dapat dijumpai dalam Teks Lontar Galapagos Tattwa; yakni percakapan antara Galapagos dengan Iswara (Siwa), yaitu pada percakapan ke-21:
īśwara uwāca:
Om anaku sang gaṇapati, mangke kami awarahe anaku, irikang ingaran sang hyang tryātmā, munggwing śloka padārthanya,
śwāso niḥśwāsaḥ samyoga ātmatrayam iti smṛtam, triśiwaṃ tripuruṣatwam aikātmya ewa śūnyatā. (2)
anaku sang gaṇapati, nihan krama sang hyang tryātmā, lwirnya, śwāsa, nihśwāsa, sangyoga|| śwāsa nga| ikang wāyu miluhur| niśwāsa nga| ikang wāyu misor| sangyoga nga| ikang wāyu kalih| piṇḍa nira katiga ya| tryātmā ngaranira| triśiwa sira| tripuruṣa sira| kunang ikang ekātmā| mahāśūnya sira| mapisan tang tigātmā atunggal| ya tekang ātmā ngaranira| mwah anaku sang gaṇapati hana inaranan sang hyang upadeśa| lwirnya||
tarkaś caiwa samādhis tu ṣaḍanggam iti kathyate||3||
nihan tang ṣaḍanggayoga ngaranira| kawruhanantānaku sang gaṇapati| lwirnya| pratyāhārayoga| dhyānayoga| prāṇāyāmayoga| dhāraṇayoga| tarkkayoga| samādhiyoga||
śāntena manasoddhṛtya pratyāhāro nigadyate||4||
pratyāhārayoga ngaranya| ikang sarwwendriya winatĕk haywa wineh ri wiṣayanya| kinĕmplī citta pahomālilang yapwan enak pwa hana hningnya| mari wiṣayanya| yatika pratyāhārayoga nga||
yad rūpaṃ dhyāyate nityaṃ tad dhyānam iti kathyate||5||
dhyānayoga ngaranya| ikang ambĕk tan parwarwana tan wikārana| enak pwa hnang hningnya| nircañcala| umiḍĕng tan kāwaraṇan| ekacittānusmaraṇa pinakalakṣananya| yeka dhyānayoga nga||
mūrdhānaṃ wāyunodbhidya prāṇāyāmo nigadyate||6||
prāṇāyāmayoga ngaranya| tutupana ng dwara kabeh| mata| irung| kapö| tutuk| ndan ikang wāyu rumuhun ispĕn wĕtwakna haneng wunwunan| kunang yapwan wuwus dāraka wineh mtu mareng irung kalih| ndan pahalon ikang wāyu| yeka prānāyāmayoga nga||
LikeLike
March 19, 2014 at 09:12
Om Swastyastu Coba baca teks Ganapati Tattwa percakapan antara Ganapati dengan Iswara (Siwa). Pada percakapan ke-21:
21 īśwara uwāca:
Om anaku sang gaṇapati mangke kami awarahe anaku irikang ingaran sang hyang tryātmā munggwing śloka padārthanya
śwāso niḥśwāsaḥ samyoga ātmatrayam iti smṛtam triśiwaṃ tripuruṣatwam aikātmya ewa śūnyatā||2||
Sabdaniya Bhatara Iswara:
anaku sang gaṇapati nihan krama sang hyang tryātmā lwirnya śwāsa nihśwāsa sangyoga. śwāsa nga ikang wāyu miluhur niśwāsa nga ikang wāyu misor sangyoga nga ikang wāyu kalih piṇḍa nira katiga ya tryātmā ngaranira| triśiwa sira tripuruṣa sira kunang ikang ekātmā| mahāśūnya sira| mapisan tang tigātmā atunggal| ya tekang ātmā ngaranira| mwah anaku sang gaṇapati hana inaranan sang hyang upadeśa| lwirnya||
tarkaś caiwa samādhis tu ṣaḍanggam iti kathyate||3||
nihan tang ṣaḍanggayoga ngaranira| kawruhanantānaku sang gaṇapati| lwirnya| pratyāhārayoga| dhyānayoga| prāṇāyāmayoga| dhāraṇayoga| tarkkayoga| samādhiyoga||
śāntena manasoddhṛtya pratyāhāro nigadyate||4||
pratyāhārayoga ngaranya| ikang sarwwendriya winatĕk haywa wineh ri wiṣayanya| kinĕmplī citta pahomālilang yapwan enak pwa hana hningnya| mari wiṣayanya| yatika pratyāhārayoga nga||
yad rūpaṃ dhyāyate nityaṃ tad dhyānam iti kathyate||5||
dhyānayoga ngaranya| ikang ambĕk tan parwarwana tan wikārana| enak pwa hnang hningnya| nircañcala| umiḍĕng tan kāwaraṇan| ekacittānusmaraṇa pinakalakṣananya| yeka dhyānayoga nga||
mūrdhānaṃ wāyunodbhidya prāṇāyāmo nigadyate||6||
prāṇāyāmayoga ngaranya| tutupana ng dwara kabeh| mata| irung| kapö| tutuk| ndan ikang wāyu rumuhun ispĕn wĕtwakna haneng wunwunan| kunang yapwan wuwus dāraka wineh mtu mareng irung kalih| ndan pahalon ikang wāyu| yeka prānāyāmayoga nga||
LikeLike
March 19, 2014 at 09:15
Om Swastastyu
Istilah Sanggama, Samana, dan Samyoga dapat dijumpai pada teks Lontar Ganapati Tattwa percakapan yang ke-21
21 īśwara uwāca|
oṃ| anaku sang gaṇapati| mangke kami awarahe anaku| irikang ingaran sang hyang tryātmā| munggw ing śloka padārthanya|
śwāso niḥśwāsaḥ samyoga ātmatrayam iti smṛtam|
triśiwaṃ tripuruṣatwam aikātmya ewa śūnyatā||2||
anaku sang gaṇapati|
nihan krama sang hyang tryātmā| lwirnya| śwāsa| nihśwāsa| sangyoga|| śwāsa nga| ikang wāyu miluhur| niśwāsa nga| ikang wāyu misor| sangyoga nga| ikang wāyu kalih| piṇḍa nira katiga ya| tryātmā ngaranira| triśiwa sira| tripuruṣa sira| kunang ikang ekātmā| mahāśūnya sira| mapisan tang tigātmā atunggal| ya tekang ātmā ngaranira| mwah anaku sang gaṇapati hana inaranan sang hyang upadeśa| lwirnya||
tarkaś caiwa samādhis tu ṣaḍanggam iti kathyate||3||
nihan tang ṣaḍanggayoga ngaranira| kawruhanantānaku sang gaṇapati| lwirnya| pratyāhārayoga| dhyānayoga| prāṇāyāmayoga| dhāraṇayoga| tarkkayoga| samādhiyoga||
śāntena manasoddhṛtya pratyāhāro nigadyate||4||
pratyāhārayoga ngaranya| ikang sarwwendriya winatĕk haywa wineh ri wiṣayanya| kinĕmplī citta pahomālilang yapwan enak pwa hana hningnya| mari wiṣayanya| yatika pratyāhārayoga nga||
yad rūpaṃ dhyāyate nityaṃ tad dhyānam iti kathyate||5||
dhyānayoga ngaranya| ikang ambĕk tan parwarwana tan wikārana| enak pwa hnang hningnya| nircañcala| umiḍĕng tan kāwaraṇan| ekacittānusmaraṇa pinakalakṣananya| yeka dhyānayoga nga||
mūrdhānaṃ wāyunodbhidya prāṇāyāmo nigadyate||6||
prāṇāyāmayoga ngaranya| tutupana ng dwara kabeh| mata| irung| kapö| tutuk| ndan ikang wāyu rumuhun ispĕn wĕtwakna haneng wunwunan| kunang yapwan wuwus dāraka wineh mtu mareng irung kalih| ndan pahalon ikang wāyu| yeka prānāyāmayoga nga||
LikeLike
March 26, 2014 at 18:42
om swastyastu
sya numpang tanya bgai mana hukum kawin beda agama di hindu
krna jujur sebagai umt hindu yg ada d jawa sngt sulit bgi saya untuk mcri pendamping yg se dharma..
LikeLike
March 26, 2014 at 23:18
Om Swastyastu mas Muji
Di setiap agama yg ada di Indonesia tidak ada perkawinan beda agama. Perkawinan baru bisa dilaksanakan jika ke dua pasangan berada pada 1 agama.
Jika salah satu pasangan dengan latar belakang berbeda agama, maka sebelum dilangsungkan perkawinan secara Agama Hindu, pasangan yang tadinya belum memeluk Hindu, mesti diupacarakan melalui Upacara Suddhi Wadani: pernyataan dr yang bersangkutan utk memeluk Hindu, dipimpin oleh pinandita/wasi setempat, disaksikan oleh parisada, keluarga. Lalu oleh parisada diberikan surat suddhi wadani.
Setelah otu baru upacara perkawinan secara agama Hindu dpt dilangsungkan.
LikeLike
May 23, 2014 at 22:27
om swastyastu…
bgini romo aq punya paman ,dulu bliau menikah secara hindhu,tpi stelah lambat laun istrinya kmbli k agama semula(islam) dan paman saya tetap teguh d hindu..
apakah pernikahan smacam itu tetap sah menurut agama kita..
trimakasi..
LikeLike
May 31, 2014 at 20:22
Walau beda agama…hubungan suami-istrinya tetap Sah….krn saat melangsungkan perkawinan dalam 1 agama
LikeLike
May 24, 2014 at 23:25
Menurut ajaran kitab suci agama hindu, apakah boleh melaksanakan upacara pernikahan dihari yg sama jika pihak laki-laki dari kedua pasangan pengantin bersaudara kandung? mohon dijelaskan dan apakah ada dampak negatifnya?
LikeLike
May 31, 2014 at 20:24
Secara sastra bisa dilaksanakan, yang diupacarakan terlebih dahulu adalah pasangan yang umurnya lebih tua…
LikeLike
August 11, 2014 at 17:09
saya laki2 usia 26 tahun punya pacar umur 40 tahun orang tua tidak setuju saya ingin menikah dengan dy,,bisakah itu di laksanakan tanpa restu orng tua dan apakah bisa kami menikah di KUA tanpa restu orang tua??
LikeLike
August 22, 2014 at 09:17
Cinta-Mencintai itu tak mengenal batasan usia, restu orang tua juga hal yang penting, krn saya yakin tak ada orang tua yg tdk ingin anak2nya bahagia. Perkawinan di KUA hanya diperuntukkan bagi mereka yang beragama Islam. Sedangkan yang beragama Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, Khong Hu Chu, dan Penghayat Kepercayaan, pencatatannya ada di Dinas Kependudukan (Catatan Sipil). Dan sebelumnya telah melakukan upacara perkawinan secara agama, bs di desa adatnya, atau di tempat ibadah masing2 yg dipimpin oleh rohaniwan, disaksikan oleh para saksi.
LikeLike
October 6, 2014 at 04:57
matur suksma …mogi santi jagate…
LikeLike
October 7, 2014 at 11:04
Suksma mewali pak Mandaragiri….
Salam Santih sll
LikeLike
January 4, 2015 at 00:43
[…] sarana-sarana yang berhubungan dengan perkawinan hindu penting untuk diungkapkan pada situ … Download IDEALNYA PERKAWINAN HINDU | Dharmavada | […]
LikeLike
January 6, 2015 at 12:18
[…] utk kelanggengan, tidak ada satu ajaran agama manapun, atau siapapun yang menghendaki … Download IDEALNYA PERKAWINAN HINDU | Dharmavada | […]
LikeLike
August 26, 2015 at 05:11
[…] 5. http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/06/hakikat-dan-tujuan-perkawinan-katolik-475898.html 6. https://dharmavada.wordpress.com/2009/07/28/idealnya-perkawinan-hindu/ 7. http://www.ekayana.or.id/pelayanan/pernikahan.html 8. […]
LikeLike
August 28, 2015 at 20:40
Tommi Zhou: terima kasih
LikeLike
March 26, 2016 at 16:41
Om swastiastu, saya mau bertanya, saya punya pacar dan kami sudah hampir 5 thun mnjalin hubungan, ketika kami mau memutuskan untuk ke jenjang yg lebih serius, orang tua saya tidak menyetujui hubungan kami, konon desa tmpat tinggal pacar saya itu tdk boleh nikah atau menikahi orang yang berasal dari desa saya, katanya nanti kepanesan, mohon solusinya, suksma
LikeLike
March 28, 2016 at 07:33
Om Swastyastu
Secara logis memang susah kita terima.
Cinta mmg tak mengenal batas, sehingga orang tua tak ada alasan utk melarangnya. Namun demikian restu orang tua juga penting sbg rasa bhakti kita pada mereka.
Saran saya ajak keluarga untuk berdiskusi kembali jg meminta petunjuk tetua desa tsb….sekiranya ada solusi yg bs diambil….agar baik utk semuanya
LikeLike
September 1, 2015 at 15:05
Om swastiastyastu
Saya mau bertanya, apabila seorang paman punya keponakan perempuan, kemudian paman tersebut menikahi seorang perempuan, perempuan tersebut juga punya keponakan lelaki
Apakah pernikahan keponakan perempuan (dari paman) dan keponakan laki-laki (dari bibi) tetao disebut mekedengan ngad? Apakah dilarang secara tidak ada hubungan darah dan tidak satu garis keturunan juga
Apa ada solusi untuk menangkal bahaya dari mekedengan ngaad? Terimakasih
LikeLike
September 2, 2015 at 07:49
Om Swastyastu
Nggih nika masih tergolong makedengan ngaad.
Penebusannya: saat dewasa meminang sebelum jalan menghaturkan caru abrumbunan di lebuh.
Saat upacara pawiwahan, upakaranya ditambahkan dgn tebasan pamyak kala. Ditatab sebelum mekala-kalaan
LikeLike
March 28, 2016 at 15:37
Om swastyastu .. apabila seorang paman memiliki kponakan perempuan kmudian paman tersebut menikah dgn seorang prempuan yg memiliki kponakan laki* … tapi pernikahan si paman hanyaa sbentar stelah itu bercerai … apakah itu masih trgolong mekedengan ngad? apa dampaknya???
LikeLike
April 5, 2016 at 09:26
Makedengan ngad saat pamannya masih terikat sbg pasangan suami istri. Dan lepas setelah perceraian
LikeLike
November 16, 2015 at 01:39
Om swastyastu……
Dalam ajaran hindu bolehkah mnikahi keponakan(anak dari kakak perempuan)
LikeLike
November 16, 2015 at 01:48
Om swastyastu….
dalam ajaran hindu bolehkah menikahi keponakan(anak dari kakak perempuan)???
LikeLike
November 21, 2015 at 20:43
Dalam Hindu tdk diperkenankan menikah dgn keponakan
LikeLike
April 8, 2016 at 11:57
Om swastiastu,
Dalam banyak kasus, seorang suami dan istri setelah perkawinan tinggal berjauhan dan ini tidak “sehat” dalam rangka membina rumah tangga yang baik dan dalam banyak kasus juga seorang istri merasa lebih “betah” tinggal dirumah bujangnya.
Apakah ada didalam susastra hindu tersurat berapa lamakah seorang istri boleh tinggal dirumah bujangnya setelah melaksanakan pawiwahan?
Suksma
Santih
LikeLike
September 24, 2016 at 07:08
suastyastu Romo….Mohon dengan sangat penjelasannya mengenai bagaimana prosesi perceraian menurut hukum Hindu (tata cara di langsungkannya Perceraian). karena fakta nya telah banyak yang bercerai hanya berdasarkan surat keputusan pengadilan agama bahkan ada hanya pisah tanpa kejelasan.kami masyarakat hindu di sulawesi selatan sangat buta terhadap hal tersebut.
sekali lagi terimakasih banyak Romo…..
LikeLike
September 24, 2016 at 09:30
Om Swastyastu
Secara agama Hindu Masalah perceraian sejatinya tidak dikenal. Karena Hindu melarang adanya perceraian, dan menjadikan upacara wiwaha sebagai ikatan reliugius.
Namun faktanya banyak pemeluk hindu bercerai dgn berbagai alasan.
Secara administratif, sahnya perceraian adalah setelah mendapatkan putusan tetap dari pengadilan, kemudian dicatatkan perceraiannya di Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan, sehingga teebitlah Akta Perceraian.
Secara agama, pihak yang bercerai mesti melakukan UPACARA PERSAKSIAN kembali kehadapan Hyang Widhi, Leluhur di sanggah kamulan dengan maksud kebalikan dari UPACARA MEPAMIT saat perkwinan dilangsungkan. Hal ini terutama bagi pihak Wanita, agar haknya ssbagai anak di rumah orang tua yang melahirkan kembali pulih.
Detailnya akan tiang unggah dalam bentuk tulisan terpisah….mhn.bersabar.
Suksma
Om Santih Santih Santih Om
LikeLike
November 21, 2016 at 13:16
Om Swastyastu
mohon pencerahannya,saya sudah menikah selama 10 thn dan sdh
mempunyai 2 anak,saat ini istri saya sedang mengandung anak ke 3,sekarang istri saya kembali lagi ke agama semula(muslim)hanya keluarga istri dari muslim yang tahu sedangkan kuluarga saya dari pihak hindu belum tahu,karena istri pindah agama secara mendadak dan saya tidak tahu aturan adat di tempat asal saya jika ada warganya yg pindah agama keluar hindu,bagai mana saya harus menyikapi permasalahan saya ini dan apakh anak saya yg ke 3 harus tetap saya upacarai secara hindu setelah lahir,
LikeLike
September 24, 2016 at 09:14
suwastyastu…Romo….
LikeLike
December 3, 2018 at 06:54
Bagaimana hindu menyikapi apabila pasangan yg akan menikah berbeda agamanya, contoh pria hindu dengan wanita muslim, ditambahn wanita tersebut janda anak 1
Terima kasih sebelumnya
LikeLike
December 3, 2018 at 10:28
Sebelum dilangsungkannya perkawinan secara agama Hindu, maka yang bersangkutan mesti di Suddhi Wadani Dahulu.
Kalau statusnya Janda maka mesti dilengkapi dengan Surat Keterangan dari Dinas Dukcapil yang bersangkutan. Apabila janda karena perceraian maka mesti dilengkapi dengan Akta Perceraian. Jika Janda karena Kematian maka perlu dilengkapi dengan akta kematian suami sebelumnya.
Masalah anak…itu kesepakatan antara berdua
LikeLike