Oleh: Sudarma

”Pranais cittam sarvam otam prajñana, yasmin visuddhe vibhaty esa Ātma”
Semua pikiran manusia dipenuhi oleh indria Ketika pikiran disucikan, Atman menampakkan sinar suci-Nya (Mundaka Upanisad III.1.9)

Om Swastyastu

A. Pendahuluan
Menjelma menjadi manusia merupakan kesempatan yang sangat utama, karena di antara berbagai mahluk hidup di alam semesta ini, hanya manusia yang dapat memperbaiki hidupnya dengan jalan berbuat baik sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Demikian umat Hindu seperti umat beragama lainnya memperingati hari kelahirannya yang disebut “Otonan” yang mengandung makna untuk menyucikan dirinya yang dirayakan pada hari kelahirannya.
Pada saat upacara “Otonan” dilaksanakan umat Hindu melaksanakan persembahyangan diikuti oleh keluarga terdekat dan dalam hal upacara “Otonan” pertama atau yang ketiga kali, bila dilaksanakan secara besar-besaran, tidak hanya keluarga terdekat yang hadir, tetapi juga sanak saudara, kerabat dan masyarakat lingkungannya diminta hadir untuk memberikan doa restu serta merasakan kegembiraan yang dirasakan oleh keluarga yang melaksanakan upacara tersebut.
Mengingat kondisi umat yang beragama, dari segi ekonomi ada yang mampu (kaya) dan ada juga yang miskin, maka ajaran agama memberikan kebebasan kepada umatnya untuk memilih pelaksanaan upacara agama baik yang besar (Uttama), menengah (Kanistama) atau yang sederhana (Kanistama).
Dengan adanya tiga macama pilihan di atas, maka tidak ada alasan bagi umat Hindu untuk tidak melaksanakan upacara agama tersebut, oleh karena itu yang menjadi landasan adalah Sraddha (keimanan) di samping landasan utama adalah kesucian atau ketulusan hati.

B. Pengertian Upacara Otonan
Kata Otonan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang telah menjadi kosa kata bahasa Bali yang berasal dari kata “wetu” atau “metu” yang artinya keluar, lahir atau menjelma. Dari kata “wetu” menjadi “weton” dan selanjutnya berubah menjadi “oton” atau “otonan”. Demikian pula kata “piodalan” dari kata “wedal” berubah menjadi “odal” atau “odalan” yang juga mengandung makna yang sama dengan “weton” tersebut di atas. Di dalam bahasa Sanskerta kata yang mengandung pengertian kelahiran adalah “janma” dan kata “janmadina” atau “janmastami” mengandung makna “hari kelahiran” atau hari ulang tahun.
Hari kelahiran umat Hindu di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali diperingati berdasarkan kalender Bali-Jawa yang disebut pasaran. Kalender ini mempergunakan perhitungan “Wuku” yang jumlahnya 30 Wuku (210 hari) dalam satu tahun Jawa-Bali, Sapta Wara (Pasaran Tujuh) dan Panca Wara (Pasaran Lima). Jadi hari kelahiran seseorang diperingati setiap enam bulan sekali menurut perhitungan 35 hari sekali) atau “Pitu Wulanan” di Jawa dengan perhitunga setiap bulannya 30 hari. Misalnya seorang yang lahir pada hari Rabu Wage Wuku Klawu atau Buda Cemeng Klawu, maka setiap hari tersebut datang dalam jangka waktu 210 hari disebut hari “Otonan” atau hari ulang tahun bagi yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut yang dimaksud dengan “Otonan” adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku yang berbeda dengan pengertian hari ulang tahun pada umumnya yang didsarkan pada perhitungan kalender atau tahun Masehi.

C. Tujuan pelasanaan upacara Otonan
Setiap upacara agama memiliki tujuan tertentu, demikian pula upacara Otonan memiliki tujuan antara lain:
a). Memperingati kelahiran seseorang, dengan demikian yang bersangkutan mengetahui pada hari apa ketika dilahirkan dan berapa tahun umurnya pada saat upacara Otonan dilaksanakan.
b). Guna menyucikan diri seseorang, dengan upacara Otonan yang bersangkutan akan melaksanakan upacara penyucian berupa “Byakala” atau “Prayascitta” dimaksudkan untuk menyucikan diri, melenyapkan kotoran batin, menjauhkan diri dari gangguan “Bhutakala, Dengen dan sejenisnya” (mahluk-mahluk gaib yang suka mengganggu umat manusia), dengan demikian pikirannya menjadi cemerlang.
c). Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, para leluhur, kedua orang tua dan kerabat terdekat. Dalam pelaksanaan upacara setelah yang bersangkutan menyucikan diri secara jasmaniah, dengan berkeramas dan mandi, mengenakan bhusana yang bersih, dilanjutkan dengan upacara “Byakala” atau “Prayascitta”, maka dilanjutkan dengan upacara persembahyangan bersama keluarga di Pamrajan atau tempat pemujaan keluarga.
d). Mesyukuri (Santosa) wara nugraha atau karunia Hyang Widhi atas kesempatan yang dianugrahkan-Nya untuk menjelma sebagai umat manusia. Demikian pula mempersembahkan puji syukur atas karunia dianugrahkannya umur yang panjang serta makanan yang berlimpah yang dilaksanakan berupa “ngayab” banten Otonan yang diakhiri dengan menikmati banten yang telah dipersembahkan maupun banten Otonan yang telah “diayab” oleh yang bersangkutan.
Demikian antara lain tujuan pelaksanaan upacara Otonan yang patut dilaksanakan oleh setiap umat Hindu, dengan demikian hidup seseorang akan penuh makna untuk memperbaiki diri, menikmati kesejahtraan dan kebahagiaan.

D. Sarana Upakara (Banten) Otonan
Sesuai dengan penjelasan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini, pelaksanaan upacara dibedakan menjadi 3 macam, yaitu yang besar (Uttama), yang menengah (Madhyama) dan yang sederhana (Kanistama). Pada tulisan ini kami ketengahkan upacara Otonan yang sederhana (Kanistama) yang dilaksanakan setelah upacara Otonan yang besar baik yang dilakukan pada hari Otonan yang pertama atau yang Ketiga (Telung Oton) sebagai berikut:
1. Byakala atau Byakaon: Alasnya berupa “sidi”, tempeh berlubang untuk menyaring tepung, sebagai alat pemisah yang bersih dan yang kotor. Di atas sidi ditaruh sebuah taledan (alas dari janur), raka-raka (buah-buahan) lengkap. Di tengah-tengah taledan diisi sejumput beras, benang dan sebuah sirih tampelan. Di atasnya ditempatkan kulit peras (ukiran dari tiga pucuk daun pandan). Di atas kulit peras, diisi nasi yang dibungkus, satu slekos jajan sumping, satu slekos segi tiga jajan. Kojong (daun pisang) rangkadan. Sampiyan nagasari, sesedep berisi beras dan benang putih. Coblong (tempat air) berisi air dan sebuah padma (dari janur). Satu tanding pabresihan payasan. Satu takir isuh-isuh bersi sapu lidi, tulud, sambuk, danyuh dan satu takir benang merah.

2. Peras: Alasnya berupa taledan, diisi raka-raka (buah-buahan) lengkap, kulit peras yang dialasi beras dan di atasnya ditaruh nasi berupa 2 buah untek, sirih tampelan, benang dan kojong rangkadan. Dilengkapi dengan sampiyan peras atau pengambeyan, dapat dilengkapi dengan ayam panggang atau tutu dan canang sari.

3. Pengambeyan: Alasnya berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap dilengkapi dengan jajan bantal pengambeyan, nasi berupa 2 tumpeng yang ditengah-tengahnya disandarkan ketipat pengambeyan, 2 buah tulung pengambeyan yang berisi nasi, kacang saur, kojong rangkadan dan ayam panggang. Sampiyan pengambeyan dan sebuah canang.

4. Ajuman atau Sodan: Alasnya berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap. Nasinya berupa 2 kelompok kecil nasi sodan, ulam (daging) dalam ceper (rerasmen) atau dalam ituk-ituk dan canang. Sodan yang lebih lengkap dapat diisi sampiyan slangsang atau sampiyan cili dan dilengkapi dengan ayam panggang, atau tutu, dapat diisi ketupat kelanan.

5. Sayut Lara Mararadan: Alasnya berupa tamas sesayut. Raka-raka (buah-buahan) lengkap. Nasi: Di atas sebuah kulit sayut, sebagian memakai tepi (masebeh) berisi nasi maura dan kacang saur. Dilengkapi 3 tanding kojong rangkadan. Ditancapkan 3 batang linting kapas berisi celupan minyak kelapa. Waktu natab linding dinyalakan. Sampiyannya: nagasari, sasedep, wadah uyah, penyenang, lis- padma, pabresihan payasan. Dilengkapi 1 buah kelapa gading muda (dikasturi/dibuka) yang airnya digunakan untuk dicipratkan dengan memakai lis padma yang berfungsi menghanyutkan lara dan canang.

6. Dapetan: Alasnya berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap.Nasinya berupa 1 tumpeng, kojong rangkadan. sampiyannya jeet goak, sasedep berisi benang putih. Diisi penyenang (berupa tumpeng 3 buah) dan canang.

E. Pelaksanaan Upacara
Pada hari yang merupakan hari Otonan, bayi, anak atau seseorang setelah membersihkan dari lahir dan batin, maka kegiatan upacara dilakukan di Balai tempat upcara. Dengan tata cara sebagai berikut:
Pemimpin upacara, apakah seorang pandita, pinandita, pemangku atau orang yang dituakan mengambil posisi dengan memohon Tirtha Panglukatan, menyucikan upakara yang akan digunakan dalam upacara Otonan tersebut.
Mempersembahkan upakara Byakala atau Byakaun dengan posisi di dekat pindu rumah, atau di halaman rumah atau tempat untuk upacara. Yang diupacarakan menghadapi banten Byakala atau Byakaon, setelah diucapkan doa baik berupa Sehe (doa dalam bahasa Daerah) maupun mantram-mantram, yang diupacarakan “ngayab” dengan kedua telapan tangan diarahkan ke bawah.
Pemimpin upacara selanjutnya mempersembahkan banten peras, banten pengambeyan dan ajuman (sodan) kehadapan Sang Hyang Widhi, Para Dewata dan Leluhur, mohon persaksian dan mohon wara nugrahanya dan mohon Tirtha Wangsuhpada dengan pengucapan mantram atau Sehe.
Yang akan diupacarakan Otonan dan keluarga terdekat selanjutnya dipersilahkan melaksanakan persembahyangan bersama memohon keselamatan bagi yang diupacarakan dan seluruh keluarga, semoga panjang umur dan sehat sejahtera.
Setelah acara persembahyangan dilanjutkan dengan “Ngayab” banten Sayut Lara Malaradan dan Dapetan dilaksanakan oleh pemimpin upacara dengan doa mantra atau sehe yang intinya memohon supaya bila ada penyakit dalam tubuh dan jiwa yang diupacarakan segera sembuh, tidak kena penyakit kembali serta menerima dan menghadapi kenyataan hidup dengan tegar.
Selesai me”ngayab” banten Lara Malaradan dan Dapetan dilanjutkan dengan acara Ngelebar atau Ngalungsur sesajen yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi dan Leluhur serta menikmati banten Lara Malaradan dan banten Dapetan oleh yang diupacarakan bersama keluarga. Berakhirlah pelaksanaan upacara Otonan tersebut.
Demikian pelaksanaan Upacara Otonan tersebut yang pelaksanaannya kadang-kadang terdapat perbedaan, misalnya acara Ngayab banten sayut lara Malaradan dan Dapetan dilaksanakan sebelum acara persembahyangan (Muspa) dan matirtha.

F. Makna Simbolisasi Sarana Upacara
Setiap sarana upacara terutama banten atau sesajen mengandung makna simbolis tertentu. Demikianlah dengan sarana upacara Otonan ini. Semua makna tersebut akan sangat bermanfaat bagi yang bersangkutan apabila dipahami dengan baik dan dilakskanakan penuh dengan Sraddha (keimanan) dan Bhakti yang tulus. Lebih lanjut kami uraikan secara singkat makna simbolis dan banten Otonan tersebut, sebagai berikut:

1. Banten Byakala : Sesuai dengan namanya banten ini mengandung makna simbolis untuk menjauhkan kekuatan Bhutakala (kekuatan negatif) yang mengganggu umat manusia. Sampeyan dari 3 pucuk daun pandan menunjukkan supaya kekuatan negatip itu menjauh, selanjutnya dikondisikan supaya yang bersangkutan bersih lahir dan batin dengan adanya sapu lidi, tulud dan sebagainya. setelah bersih diri lahir dan batin barulah seseorang menghadap Sang Hyang Widhi dan para leluhur.

2. Banten Peras: Banten Peras sesuai dengan namanya memohon keberhasilan, sukses atau prasidha (Sidhakarya)nya sebuah Yajña. Di dalamnya juga terkandung permohon kepada Sang Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Tri Murthi, guna menyucikan Tri Guna (sifat Sāttwam, Rājah dan Tāmah) pada diri manusia.

3. Banten Ajuman atau Sodan: Banten Ajuman atau Sodan maknanya mempersembahkan makanan yang dilengkapi dengan sirih (canang) karena umat manusia diwajibkan mempersembahkan terlebih dahulu apa saja yang mesti dinikmati. Seseorang yang menikmati makanan tanpa mempersembahkan terlebig dahulu kepada-Nya, dinyatakan sebagai pencuri yang menikmati pahala dosanya sendiri.

4. Pengambeyan: Kata Ngambe berarti memanggil atau memohon. banten Pengambeyan mengandung makna simbolis memohon karunia Sang Hyang Widhi dan para leluhur guna dapat menikmati hidup dan kehidupan senantiasa berdasarkan Dharma di bawah lindungan dan kendali Sang Hyang Widhi dan para Leluhur. Disini muncul permohonan ketegaran dan ketangguhan untuk menghadapi tantangan hidup dan kehidupan.

5. Banten Sayut Lara Malaradan: Sesuai dengan namanya, banten ini mengandung makna keselamatan, mohon kesejahtraan, dan berkurang serta lenyapnya semua jenis penyakit, apakah sakit karena kekuasaan alam, seperti cuaca yang buruk, vbanjir besar dan sebagainya, penyakit yang disebabkan oleh virus atau kuman, atau penyakit yang disebabkan oleh kurang mampunya seseorang mengendalikan disi (psikosomatik), dan lain-lain.

6. Banten Dapetan: Banten ini mengandung makna seseorang hendaknya siap menghadapi kenyataan hidup dalam suka dan duka. Harapan setiap orang tentunya berlimpahnya kesejhatraan dan kebahagiaan, panjang umur dan sehat walafiat. banetn ini juga sebagai ungkapan berterima kasih, mensyukuri karunia Tuhan Yang maha Esa (Santosa) karena telah diberikan kesempatan untuk meniti kehidupan dan memohon senantiasa tidak jauh dari lindungan-Nya.

G. Penutup
Demikian sekilas tentang upacara Otonan yang sederhana (Kanista) atau kecil. Kecil bukan berarti hina, tetapi merupakan upacara yang inti, dan akan sangat besar manfaatnya bila dilandasi dengan kesucian dan ketulusan hati. Semoga.

Om Siddhir astu tat astu swaha.
Om Santih Santih Santih Om