Oleh: Sudarma
”Pranais cittam sarvam otam prajñana, yasmin visuddhe vibhaty esa Ātma”
Semua pikiran manusia dipenuhi oleh indria Ketika pikiran disucikan, Atman menampakkan sinar suci-Nya (Mundaka Upanisad III.1.9)
Om Swastyastu
A. Pendahuluan
Menjelma menjadi manusia merupakan kesempatan yang sangat utama, karena di antara berbagai mahluk hidup di alam semesta ini, hanya manusia yang dapat memperbaiki hidupnya dengan jalan berbuat baik sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Demikian umat Hindu seperti umat beragama lainnya memperingati hari kelahirannya yang disebut “Otonan” yang mengandung makna untuk menyucikan dirinya yang dirayakan pada hari kelahirannya.
Pada saat upacara “Otonan” dilaksanakan umat Hindu melaksanakan persembahyangan diikuti oleh keluarga terdekat dan dalam hal upacara “Otonan” pertama atau yang ketiga kali, bila dilaksanakan secara besar-besaran, tidak hanya keluarga terdekat yang hadir, tetapi juga sanak saudara, kerabat dan masyarakat lingkungannya diminta hadir untuk memberikan doa restu serta merasakan kegembiraan yang dirasakan oleh keluarga yang melaksanakan upacara tersebut.
Mengingat kondisi umat yang beragama, dari segi ekonomi ada yang mampu (kaya) dan ada juga yang miskin, maka ajaran agama memberikan kebebasan kepada umatnya untuk memilih pelaksanaan upacara agama baik yang besar (Uttama), menengah (Kanistama) atau yang sederhana (Kanistama).
Dengan adanya tiga macama pilihan di atas, maka tidak ada alasan bagi umat Hindu untuk tidak melaksanakan upacara agama tersebut, oleh karena itu yang menjadi landasan adalah Sraddha (keimanan) di samping landasan utama adalah kesucian atau ketulusan hati.
B. Pengertian Upacara Otonan
Kata Otonan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang telah menjadi kosa kata bahasa Bali yang berasal dari kata “wetu” atau “metu” yang artinya keluar, lahir atau menjelma. Dari kata “wetu” menjadi “weton” dan selanjutnya berubah menjadi “oton” atau “otonan”. Demikian pula kata “piodalan” dari kata “wedal” berubah menjadi “odal” atau “odalan” yang juga mengandung makna yang sama dengan “weton” tersebut di atas. Di dalam bahasa Sanskerta kata yang mengandung pengertian kelahiran adalah “janma” dan kata “janmadina” atau “janmastami” mengandung makna “hari kelahiran” atau hari ulang tahun.
Hari kelahiran umat Hindu di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali diperingati berdasarkan kalender Bali-Jawa yang disebut pasaran. Kalender ini mempergunakan perhitungan “Wuku” yang jumlahnya 30 Wuku (210 hari) dalam satu tahun Jawa-Bali, Sapta Wara (Pasaran Tujuh) dan Panca Wara (Pasaran Lima). Jadi hari kelahiran seseorang diperingati setiap enam bulan sekali menurut perhitungan 35 hari sekali) atau “Pitu Wulanan” di Jawa dengan perhitunga setiap bulannya 30 hari. Misalnya seorang yang lahir pada hari Rabu Wage Wuku Klawu atau Buda Cemeng Klawu, maka setiap hari tersebut datang dalam jangka waktu 210 hari disebut hari “Otonan” atau hari ulang tahun bagi yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut yang dimaksud dengan “Otonan” adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku yang berbeda dengan pengertian hari ulang tahun pada umumnya yang didsarkan pada perhitungan kalender atau tahun Masehi.
C. Tujuan pelasanaan upacara Otonan
Setiap upacara agama memiliki tujuan tertentu, demikian pula upacara Otonan memiliki tujuan antara lain:
a). Memperingati kelahiran seseorang, dengan demikian yang bersangkutan mengetahui pada hari apa ketika dilahirkan dan berapa tahun umurnya pada saat upacara Otonan dilaksanakan.
b). Guna menyucikan diri seseorang, dengan upacara Otonan yang bersangkutan akan melaksanakan upacara penyucian berupa “Byakala” atau “Prayascitta” dimaksudkan untuk menyucikan diri, melenyapkan kotoran batin, menjauhkan diri dari gangguan “Bhutakala, Dengen dan sejenisnya” (mahluk-mahluk gaib yang suka mengganggu umat manusia), dengan demikian pikirannya menjadi cemerlang.
c). Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, para leluhur, kedua orang tua dan kerabat terdekat. Dalam pelaksanaan upacara setelah yang bersangkutan menyucikan diri secara jasmaniah, dengan berkeramas dan mandi, mengenakan bhusana yang bersih, dilanjutkan dengan upacara “Byakala” atau “Prayascitta”, maka dilanjutkan dengan upacara persembahyangan bersama keluarga di Pamrajan atau tempat pemujaan keluarga.
d). Mesyukuri (Santosa) wara nugraha atau karunia Hyang Widhi atas kesempatan yang dianugrahkan-Nya untuk menjelma sebagai umat manusia. Demikian pula mempersembahkan puji syukur atas karunia dianugrahkannya umur yang panjang serta makanan yang berlimpah yang dilaksanakan berupa “ngayab” banten Otonan yang diakhiri dengan menikmati banten yang telah dipersembahkan maupun banten Otonan yang telah “diayab” oleh yang bersangkutan.
Demikian antara lain tujuan pelaksanaan upacara Otonan yang patut dilaksanakan oleh setiap umat Hindu, dengan demikian hidup seseorang akan penuh makna untuk memperbaiki diri, menikmati kesejahtraan dan kebahagiaan.
D. Sarana Upakara (Banten) Otonan
Sesuai dengan penjelasan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini, pelaksanaan upacara dibedakan menjadi 3 macam, yaitu yang besar (Uttama), yang menengah (Madhyama) dan yang sederhana (Kanistama). Pada tulisan ini kami ketengahkan upacara Otonan yang sederhana (Kanistama) yang dilaksanakan setelah upacara Otonan yang besar baik yang dilakukan pada hari Otonan yang pertama atau yang Ketiga (Telung Oton) sebagai berikut:
1. Byakala atau Byakaon: Alasnya berupa “sidi”, tempeh berlubang untuk menyaring tepung, sebagai alat pemisah yang bersih dan yang kotor. Di atas sidi ditaruh sebuah taledan (alas dari janur), raka-raka (buah-buahan) lengkap. Di tengah-tengah taledan diisi sejumput beras, benang dan sebuah sirih tampelan. Di atasnya ditempatkan kulit peras (ukiran dari tiga pucuk daun pandan). Di atas kulit peras, diisi nasi yang dibungkus, satu slekos jajan sumping, satu slekos segi tiga jajan. Kojong (daun pisang) rangkadan. Sampiyan nagasari, sesedep berisi beras dan benang putih. Coblong (tempat air) berisi air dan sebuah padma (dari janur). Satu tanding pabresihan payasan. Satu takir isuh-isuh bersi sapu lidi, tulud, sambuk, danyuh dan satu takir benang merah.
2. Peras: Alasnya berupa taledan, diisi raka-raka (buah-buahan) lengkap, kulit peras yang dialasi beras dan di atasnya ditaruh nasi berupa 2 buah untek, sirih tampelan, benang dan kojong rangkadan. Dilengkapi dengan sampiyan peras atau pengambeyan, dapat dilengkapi dengan ayam panggang atau tutu dan canang sari.
3. Pengambeyan: Alasnya berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap dilengkapi dengan jajan bantal pengambeyan, nasi berupa 2 tumpeng yang ditengah-tengahnya disandarkan ketipat pengambeyan, 2 buah tulung pengambeyan yang berisi nasi, kacang saur, kojong rangkadan dan ayam panggang. Sampiyan pengambeyan dan sebuah canang.
4. Ajuman atau Sodan: Alasnya berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap. Nasinya berupa 2 kelompok kecil nasi sodan, ulam (daging) dalam ceper (rerasmen) atau dalam ituk-ituk dan canang. Sodan yang lebih lengkap dapat diisi sampiyan slangsang atau sampiyan cili dan dilengkapi dengan ayam panggang, atau tutu, dapat diisi ketupat kelanan.
5. Sayut Lara Mararadan: Alasnya berupa tamas sesayut. Raka-raka (buah-buahan) lengkap. Nasi: Di atas sebuah kulit sayut, sebagian memakai tepi (masebeh) berisi nasi maura dan kacang saur. Dilengkapi 3 tanding kojong rangkadan. Ditancapkan 3 batang linting kapas berisi celupan minyak kelapa. Waktu natab linding dinyalakan. Sampiyannya: nagasari, sasedep, wadah uyah, penyenang, lis- padma, pabresihan payasan. Dilengkapi 1 buah kelapa gading muda (dikasturi/dibuka) yang airnya digunakan untuk dicipratkan dengan memakai lis padma yang berfungsi menghanyutkan lara dan canang.
6. Dapetan: Alasnya berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap.Nasinya berupa 1 tumpeng, kojong rangkadan. sampiyannya jeet goak, sasedep berisi benang putih. Diisi penyenang (berupa tumpeng 3 buah) dan canang.
E. Pelaksanaan Upacara
Pada hari yang merupakan hari Otonan, bayi, anak atau seseorang setelah membersihkan dari lahir dan batin, maka kegiatan upacara dilakukan di Balai tempat upcara. Dengan tata cara sebagai berikut:
Pemimpin upacara, apakah seorang pandita, pinandita, pemangku atau orang yang dituakan mengambil posisi dengan memohon Tirtha Panglukatan, menyucikan upakara yang akan digunakan dalam upacara Otonan tersebut.
Mempersembahkan upakara Byakala atau Byakaun dengan posisi di dekat pindu rumah, atau di halaman rumah atau tempat untuk upacara. Yang diupacarakan menghadapi banten Byakala atau Byakaon, setelah diucapkan doa baik berupa Sehe (doa dalam bahasa Daerah) maupun mantram-mantram, yang diupacarakan “ngayab” dengan kedua telapan tangan diarahkan ke bawah.
Pemimpin upacara selanjutnya mempersembahkan banten peras, banten pengambeyan dan ajuman (sodan) kehadapan Sang Hyang Widhi, Para Dewata dan Leluhur, mohon persaksian dan mohon wara nugrahanya dan mohon Tirtha Wangsuhpada dengan pengucapan mantram atau Sehe.
Yang akan diupacarakan Otonan dan keluarga terdekat selanjutnya dipersilahkan melaksanakan persembahyangan bersama memohon keselamatan bagi yang diupacarakan dan seluruh keluarga, semoga panjang umur dan sehat sejahtera.
Setelah acara persembahyangan dilanjutkan dengan “Ngayab” banten Sayut Lara Malaradan dan Dapetan dilaksanakan oleh pemimpin upacara dengan doa mantra atau sehe yang intinya memohon supaya bila ada penyakit dalam tubuh dan jiwa yang diupacarakan segera sembuh, tidak kena penyakit kembali serta menerima dan menghadapi kenyataan hidup dengan tegar.
Selesai me”ngayab” banten Lara Malaradan dan Dapetan dilanjutkan dengan acara Ngelebar atau Ngalungsur sesajen yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi dan Leluhur serta menikmati banten Lara Malaradan dan banten Dapetan oleh yang diupacarakan bersama keluarga. Berakhirlah pelaksanaan upacara Otonan tersebut.
Demikian pelaksanaan Upacara Otonan tersebut yang pelaksanaannya kadang-kadang terdapat perbedaan, misalnya acara Ngayab banten sayut lara Malaradan dan Dapetan dilaksanakan sebelum acara persembahyangan (Muspa) dan matirtha.
F. Makna Simbolisasi Sarana Upacara
Setiap sarana upacara terutama banten atau sesajen mengandung makna simbolis tertentu. Demikianlah dengan sarana upacara Otonan ini. Semua makna tersebut akan sangat bermanfaat bagi yang bersangkutan apabila dipahami dengan baik dan dilakskanakan penuh dengan Sraddha (keimanan) dan Bhakti yang tulus. Lebih lanjut kami uraikan secara singkat makna simbolis dan banten Otonan tersebut, sebagai berikut:
1. Banten Byakala : Sesuai dengan namanya banten ini mengandung makna simbolis untuk menjauhkan kekuatan Bhutakala (kekuatan negatif) yang mengganggu umat manusia. Sampeyan dari 3 pucuk daun pandan menunjukkan supaya kekuatan negatip itu menjauh, selanjutnya dikondisikan supaya yang bersangkutan bersih lahir dan batin dengan adanya sapu lidi, tulud dan sebagainya. setelah bersih diri lahir dan batin barulah seseorang menghadap Sang Hyang Widhi dan para leluhur.
2. Banten Peras: Banten Peras sesuai dengan namanya memohon keberhasilan, sukses atau prasidha (Sidhakarya)nya sebuah Yajña. Di dalamnya juga terkandung permohon kepada Sang Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Tri Murthi, guna menyucikan Tri Guna (sifat Sāttwam, Rājah dan Tāmah) pada diri manusia.
3. Banten Ajuman atau Sodan: Banten Ajuman atau Sodan maknanya mempersembahkan makanan yang dilengkapi dengan sirih (canang) karena umat manusia diwajibkan mempersembahkan terlebih dahulu apa saja yang mesti dinikmati. Seseorang yang menikmati makanan tanpa mempersembahkan terlebig dahulu kepada-Nya, dinyatakan sebagai pencuri yang menikmati pahala dosanya sendiri.
4. Pengambeyan: Kata Ngambe berarti memanggil atau memohon. banten Pengambeyan mengandung makna simbolis memohon karunia Sang Hyang Widhi dan para leluhur guna dapat menikmati hidup dan kehidupan senantiasa berdasarkan Dharma di bawah lindungan dan kendali Sang Hyang Widhi dan para Leluhur. Disini muncul permohonan ketegaran dan ketangguhan untuk menghadapi tantangan hidup dan kehidupan.
5. Banten Sayut Lara Malaradan: Sesuai dengan namanya, banten ini mengandung makna keselamatan, mohon kesejahtraan, dan berkurang serta lenyapnya semua jenis penyakit, apakah sakit karena kekuasaan alam, seperti cuaca yang buruk, vbanjir besar dan sebagainya, penyakit yang disebabkan oleh virus atau kuman, atau penyakit yang disebabkan oleh kurang mampunya seseorang mengendalikan disi (psikosomatik), dan lain-lain.
6. Banten Dapetan: Banten ini mengandung makna seseorang hendaknya siap menghadapi kenyataan hidup dalam suka dan duka. Harapan setiap orang tentunya berlimpahnya kesejhatraan dan kebahagiaan, panjang umur dan sehat walafiat. banetn ini juga sebagai ungkapan berterima kasih, mensyukuri karunia Tuhan Yang maha Esa (Santosa) karena telah diberikan kesempatan untuk meniti kehidupan dan memohon senantiasa tidak jauh dari lindungan-Nya.
G. Penutup
Demikian sekilas tentang upacara Otonan yang sederhana (Kanista) atau kecil. Kecil bukan berarti hina, tetapi merupakan upacara yang inti, dan akan sangat besar manfaatnya bila dilandasi dengan kesucian dan ketulusan hati. Semoga.
Om Siddhir astu tat astu swaha.
Om Santih Santih Santih Om
January 24, 2014 at 21:30
Halo,
mau tanya, jika seorang wanita yg sudah menikah apakah dibenarkan melakukan otonan d rumah gadisnya?
Trims
LikeLike
February 25, 2014 at 05:23
om Swastyastu
ketika seorang wanita sudah menikah dan menetap di kediaman suaminya, maka otonannya di lakukan di kediaman suaminya. namun untuk sembahyang umum ia masih dan wajib sembahyang di rumah gadisnya sebagai tanda syukur kepada leluhurnya.
Santih
LikeLike
March 24, 2014 at 14:58
“om swastiastu”,ulam(daging) sane keanggen ring banten punika,dados melianan misal ayam putih,selem ,putih siunga&biing.
om santih,santih,santih,om
LikeLike
March 24, 2014 at 15:42
Om Swastastyu
Untuk otonan ayam yg dipakai boleh warna apa saja. Kecuali membuat banten khusus yang namanya sesayut pawetuan, maka warna ayamnya menyesuaikan dengan perhitungan warna dina.
Misal dina redite:ayam putih tulus
Soma: ayam selem
Anggara: ayam buik
Budha: ayam putih siyungan
Wrhaspati: ayam wangkas
Sukra: ayam kelawu
Saniscara: ayam biying
LikeLike
August 22, 2014 at 08:13
haloo.. perempuan yg sudah menikah (sudah diidih) dan sdh punya anak apa boleh meoton dirinya di rmh bajang?? dan apakah boleh meoton”kan anaknya drmh bajangnya?? terima kasih
LikeLike
August 22, 2014 at 09:33
Om Swastyastu
Secara sastra tidak ada larangan, dan boleh…apalagi masih tinggal bersama suami di rumah bajang.
Konsep mepamit yg dilakukan saat menikah…..bukan berarti memutus hubungan kekerabatan.
Jika meotonan di rumah bajang, baik untuk diri sendiri maupun utk anak….tinggal dibuatkan upakara/banten upesaksi utk ngayeng/ngacep ke leluhur pihak suami.
LikeLike
November 10, 2014 at 15:29
Rasanya kurang tepat kalau otonan disandingkan dengan hari ulang tahun. Otonan mengacu pada panca wara, sapta wara dan pawukon yang berulang setiap 210 hari. Ulang tahun mengacu pada sistem kalender masehi. Otonan juga tidak dapat dikatakan milik Hindu, karena weton/oton adalah khas Jawa dan Bali. Walaupun di Jawa dapat dikatakan hampir tidak ada lagi orang yang memperingati hari lahirnya menurut wetonnya.
BTW, uraiannya menarik dan sangat bermanfaat untuk memperluas wawasan orang Hindu di Bali.
Terima kasih.
LikeLike
November 14, 2014 at 07:49
Om Swastyastu
Suksma Sudah singgah disini @Tri Bayu, sengaja tiang sandingkan….dengan maksud agar orang Hindu…..tak lupa akan warisan leluhurnya. Dan justru lebih ingat akan hari ulang tahun (berdasarkan kalender masehi), walau memang demikian faktanya.
Suksma masukkannya
LikeLike
May 17, 2015 at 18:43
Boleh nggak otonan itu tidak dirayakan. Misalnya kalau yg diperantauan
LikeLike
May 22, 2015 at 13:49
@yurita: ketika kita bertanya boleh apa tidak otonan dirayakan…? Dengan alasan karena diperantauan….maka jawaban saya boleh dan tidak
Boleh tidak dirayakan jika hanya karena memnag tidak memungkinkan, namun tidak boleh jika alasannya karena hanya kita sebenarnya sedang malas
LikeLike
July 6, 2015 at 00:59
@yurita, walau tidak dirayakan, usahakan pd saat itu kita ingat kl otonan, lakukan minimal mengucapkan syukur atas anugerah kehidupan ini
LikeLike
March 6, 2015 at 03:52
Untuk postingan slnjutnya mungkin bisa disertai cntoh banten scra terpisah,misalnya sayut dsertai gambar banten sayut,dst nya..suksma antuk infonya 🙂
LikeLike
March 6, 2015 at 07:14
Siap dilaksanakan @ Gek Mung
LikeLike
September 13, 2015 at 20:03
Suksme infonya. Sangat bernanfaat khususnya bagi tyang yang tinggal diperantauan.
LikeLike
September 16, 2015 at 10:18
Om swastyastu
Suksma mewali bu made Indrayani, semoga bermanfaat bagi sraddha dan bhakti kita
LikeLike
October 1, 2015 at 13:53
Om Swastyastu , mau bertanya jika lahir hari sabtu jam 3 pagi otonya diambil sabtu atau jumatannya suksme
LikeLike
October 6, 2015 at 14:56
Menurut kalender Hindu….lahir jam 3 subuh masih merupkan hari jumat.
LikeLike
October 21, 2015 at 10:09
Om Swastyastu,,tiang mau menanyakan, napi mawinang kenten? bisa dihitung hari Jumat, karena anak tiang juga lahir senin pukul 2 pagi, mohon diperjelas nggih, suksema.
LikeLiked by 1 person
October 25, 2015 at 10:56
Karena perhitungan kalender Hindu demikian….pergantian hari adalah saat pagi hari
LikeLike
November 3, 2015 at 07:48
Om Swastiastu, tyang mau nanya…..
Dimana sebaiknya natab oton? Disanggah atau di bale dangin? Karena tyang lihat ada yg di sanggah adapula yg di bale dangin.
Suksma
LikeLike
November 4, 2015 at 19:03
Om Swastyastu…karena otonan tergolong upacara Sakral dilaksanakan di Merajan. Tp melukatnya dilaksanakan di luar merajan
LikeLike
November 22, 2015 at 21:04
Om suastiastu. Tyg metaken, tyg kn anak kos. Kalau d kos an d mana sebaiknya natab bnten oton nggih? D kamar dados nggih? Atau d merajan tmpt kos tyg. Kebetulan pisah sm tuan rumahnya. Dn cm ada pelinggih padma sm tunggun karang. Suksma…
LikeLike
November 22, 2015 at 23:37
Om Swastyastu
Di ajeng Pelinggih Padma….representative @bu made Kartini.
Namun jika ibu merasa lbh nyaman di kamar….boleh jg…letakkan banten di atas meja….kemudian sembahyang spt biasa….acep penuh bhakti Hyang Widhi Dan Leluhur
LikeLike
November 30, 2015 at 19:02
Om swastyastu, saya mau tanya apa boleh melakukan otonan pas lgi menstruasi? Suksma
LikeLike
January 4, 2016 at 09:58
Om Swastyastu
Otonan merupakan upacara sakral yang bersifat siklis, saran saya ketika @Tri Eka dalam kondisi Haid, melakukan otonannya tidak di merajan, tapi bisa dilakukan di ruang tersendiri, misalnya ruang keluarga, dsb.
suksma
LikeLiked by 1 person
April 12, 2016 at 10:43
Om Swastiastu, tiang mau tanya. apabila kita punya bayi yg belum berumur 1 oton, apakah orang tua sang bayi boleh melakukan persembahyangan di pura Pura besar di luar merajan?
LikeLike
April 17, 2016 at 00:04
Untuk Ibu yang melahirkan boleh sembahyanya setelah upacara tutug kambuhan (42 hari). Seorang ayah boleh sembahyang setelah anaknya pupus pusar. Seorang anak boleh diajak ke merajan pertama kali saat usia 42 hari utk upacara tutug kambuhan. Dan boleh ke pura setelah upacara 3 bulanan
LikeLike
April 30, 2016 at 08:04
mau nanya ,, apa banten untuk ngingetin oton anak. terima kasih
LikeLike
April 30, 2016 at 08:22
Banten minimal adalah banten dapetan
LikeLike
May 3, 2016 at 07:17
Mapitaken otonan tepat ring purname napi otonan nadi napi bebantenan lamun tepat tilem, meuwat kawat mebalung besi kuat bantat=bandel sing mati2, kanti batu makocok ten mungkin, meli mael adep mudah dadosne rugi napi tetep sehe warisan nike keanggen, wenten nganggen kukusan termasuk kanistan, ampue suksme
LikeLike
May 5, 2016 at 00:05
Jika otonan bertepatan jatuh saat Purnama atau Tilem, dinamakan Otonan Nadi. Disamping ada tambahan banten berupa banten sesayut pawetuan, prayascitta, pengulapan dan durmenggala. Sebaiknya saat otonan melakukan upawasa atau brata, dan melakukan dana punia bagi orang2 yg benar membutuhkan.
Doa saat otonan adalah doa2 keselamatan dhirgahayu-dhirgayusa, juga bs dengan doa2 bala werddhi
LikeLike
May 3, 2016 at 21:25
Otonan tepat di Purname napi wenten bebantenane napi wenten otonan Nadi, taler tepat ring Tilem, sehe meuat kawat mebalung besi, kuat Bantat/bandel sing mati2-kanti batu makocok kemungkinan ten wenten manusia ten mati2, meli mael adep mudah dadosne merugi, memotong kaki guling lan metukar posisi termasuk kepala – ekor, wenten otonan nganggen kukusan napi termasuk kanistan, napi otonan termasuk melebur dosa, menurut penjelasan otonan ring merajan tapi dereng wenten ULTAH ring merajan, ampure mapitaken suksme
LikeLike
June 27, 2016 at 20:10
ga ada penjelasan kalau otonan itu berhubungan juga dengan roh kanda pat?
#cuman nanya mohon bimbingan
LikeLike
August 31, 2016 at 14:51
Niki hanya baru penjelasan umum saja
LikeLike
January 29, 2017 at 10:36
OSA,,tyang metaken,,apakah kalau otonan orang dewasa harus medaging ayang betutu 1 ekor ? Napi maknanya? Suksme
LikeLike
February 13, 2017 at 08:32
Om Swastyastu
Indik ulam ayam betutu….tidaklah wajib….niki sesuai kemampuan manten…..
Nangin yan mekarya sesayut pawetuan….ulamne mejanten ayam mepanggang nganut warna.
Yan wantah mekarya pejatian lan dapetan ulam adeng kaangkat
LikeLike
February 12, 2017 at 22:42
apa perbedaan banten utama,mandya dan nista pak ,mohon jawabannya
LikeLike
February 13, 2017 at 08:36
Om Swastyastu
Indik bancahan upakara uttama, madyama lan kanistama
Perbedaannya:
Banten Kanistama artinya banten2 yang paling inti/pokok saja….
Madhyama: banten yg menggunakan kelengkapan yg lebih besar demikian juga banten yang uttama.
Namun secara rohani keutamaan banten bukan dari besar nya bebantenan…tetapi seberapa tulus kita menyiapkannya
LikeLike
May 25, 2017 at 06:46
kalau otonan bertepatan dengan tilem apakah perlu mebayuh/melukat?
LikeLike
May 29, 2017 at 17:02
Tidak mesti harus mebayuh tapi kalau melukat sangat bagus.
Saat otonan ketemu Tilem sangat bagus diimbangi dengan berpuasa dan medana punia.
LikeLike
June 27, 2017 at 12:49
om Suastiastu, mohon pencerahannya, bagaimana kalau orang tua lupa otonan dan juga tanggal lahir kita. bagaimana cara mempreringati otonan tersebut ?
LikeLike
July 24, 2017 at 08:33
Jika lupa akan otonan dan tanggal lahir, bisa dilaksanakan saat galungan
LikeLike
September 13, 2017 at 17:45
Bagaimana jika akan mebayuh oton tetapi tidak tahu tgl lahir???
LikeLike
September 14, 2017 at 08:57
Kalau sdh tau tanggal kelahiran secara masehi, maka dina otonannya bisa dicari bu
LikeLike
February 13, 2018 at 13:34
saya mw bertanya
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
LikeLike
February 13, 2018 at 13:37
apakah boleh saat seorg wanita sdh menikah tdk mlaksankan otonan tp hanya menghaturkan sodan saja ?
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
LikeLike
February 22, 2018 at 13:49
Sedapat mungkin otonan tetap dilaksanakan walau dengan banten yg paling sederhana sekalipun. Tapi niatkan penuh bhakti bahwa hari itu kita otonan
Rahayu
LikeLike
March 20, 2018 at 14:00
saya mau tanya, Apakah ada “sesontengan” untuk sesayut di otonan?
LikeLike
June 27, 2018 at 11:22
Om Swastyastu
ada pak mangku, semua tergantung jenis bantennya. kalau bantennya sesayut pawetuan, dipersembahkan kepada Dewa yang dipuja pada hari itu dengan menggunakan sesontengan dan disesuaikan dengan jenis banten yang dipersembahkan dan tujuan dari maksud upacaranya.
misalnya diawali dengan Mantra: Om Pakulun paduka Sanghyang Surya Candra Tranggana, Pakulun sira amangkurat kang kamulan tiga, hyang kawi swara, hyang guru reka, sanghyang aji saraswati suksma….puniki pedekan paduka bhatara angaturaken bhakti pawetuan…..dan sterusnya
I Wayan Sudarma
LikeLike
October 2, 2022 at 15:04
om swastiastu…
mau nanya tyg ingin membuatkan orang tua tyg otonan tapi org tua tyg ga ingat tanggal lahir dan tegak otonnya kapan . nah bagainana solusinya ya mohon bantuannya 🙏
LikeLike
October 10, 2022 at 23:11
Bisa di buatkan saat bertepatan dengan hari Galungan, seusai sembahyangan Galungan lalu natab/nyurud ayu banten otonan
LikeLike