PEREMPUAN DALAM HINDU
Oleh : I Wayan Sudarma

Oṁ Svastyastu

‘strī  hi brahmā babhsvitha’– seorang perempuan sesungguhnya seorang sarjana,
cerdas dan mampu mengajar (Ṛgveda VIII.33.19)

‘samhotaram sma purā nārī , samanam vāva gacchati’– dahulu para perempuan pergi menghadiri upacara Agnihotra dan maju ke medan pertempuran. (Atharvaveda XX.126.1)

  1. A. Pendahuluan

Pengkajian tentang kedudukan perempuan dalam agama Hindu sungguh sangat menarik, karena perempuan, istri atau wanita merupakan bagian yang terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Kita sulit membayangkan bila dalam masyarakat tidak terdapat seorang perempuan. Dalam sejarah perkembangan agama Hindu, bila kita melihat Veda dan susastra Hindu sebagai sumber kajian sejarah dan sosiologis, maka pernah dalam momentum tertentu, wanita dilecehkan seperti kita jumpai dalam kisah Rāmāyaṇa (dewi Sitā) dan dalam Mahābhārata (dewi Drupadī ) yang menjadi korban dari keserakahan dan hawa nafsu laki-laki.

Walaupun dalam perkembangan sejarah agama Hindu nampak dalam beberapa dekade wanita kurang mendapatkan penghargaan yang selayaknya, hal ini disebabkan di antaranya karena pemahaman masyarakat yang kurang baik terhadap kedudukan seorang perempuan. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Bali, kita mengenal berbagai bentuk perkawinan yang menurut sistem perkawinan Hindu (sesuai dengan Manavadharmaśāstra) disebut perkawinan Paiśaca, Rakṣasa atau Asura Vivāham, yaitu perkawinan yang sangat dicela dan tidak dibenarkan adalam agama Hindu, karena dalam perkawinan tersebut terjadi pelecehan terhadap seorang wanita. Demikian kita pernah melihat di Bali perkawinan yang disebut “mlagandang, mrakunung atau mrakopong”, yakni pengambilan seorang calon istri dengan pemaksaan, perkosaan, pemakaian obat bius, guna-guna, teror, ancaman dan lain-lain. Kita patut bersyukur, ternyata dengan kemerdekaan NKRI, tgl. 17 Agustus 1945, semakin majunya pendidikan pada umumnya,
Perkawinan semacam itu telah dapat di atasi (diberantas) dan masyarakat tidak berani melakukan hal-hal yang melecehkan wanita seperti hal tersebut di atas.

Dalam perkembangan sejarah agama Hindu di Bali dan bahkan hingga kini masih terjadi pelecehan terhadap status seorang perempuan sebagai seorang istri karena sistem wangsa yang merupakan penyimpangan terhadap sistem Varna dalam agama Hindu. Nampak nyata dalam perkawinan seorang warga yang secara tradisi disebut Triwangsa dengan seorang wanita di Bali dari keluarga yang disebut Jaba atau sudra, dengan mengganti nama perempuan Bali tersebut menjadi Jero (misalnya Jero Sandat, Jero Tanjung, dan sebagainya) yang maksudnya mengangkat status wanita tersebut, yang sesungguhnya hakekatnya adalah merendahkan harkat dan martabat wanita yang bersangkutan termasuk keluarganya, karena pendangan masyarakat yang berkembang dalam masyarakat feodal (sistem kerajaan) masih diberlakukan pula dalam alam kemerdekaan dengan negara sistem republik demokratis dewasa ini dan hal tersebut sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu.

Hal-hal yang tragis dari dampak diskriminasi terhadap wanita yang distatuskan menjadi Jero tersebut, termasuk di antaranya dalam pendidikan anak, yang dampaknya seorang anak tidak akan tulus menghormati ibunya, karena ibunya adalah Wong Jaba atau Sudra yang sejak dini ditanamkan bahwa Wong Jaba atau Sudra tersebut sangat rendah martabatnya, bahkan ada oknum-oknum yang merasa dirinya Triwangsa menyatakan tidak ikhlas putrinya kalau dikawini oleh Wong Jaba, malah lebih baik bila diambil oleh orang yang bearagama lain. Walaupun tidak sepenuhnya kalangan Triwangsa bersikap demikian, tetapi dampak pendidikan yang keliru dari masyarakat feodal di masa lalu masih merasuk dan membekas dalam masyarakat kita saat ini.

  1. Kedudukan Perempuan dalam Veda dan susastra Hindu

Penghargaan kepada perempuan, wanita, istri atau putri sesungguhnya demikian tinggi. Di dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya, dengan demikian maka bila terjadi pelecehan terhadap wanita, sesungguhnya pelakunya yang tidak memahami tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu. Banyak tokoh-tokoh wanita disebutkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya sangat dihormati karena kesucian, kecerdasan dan kepemimpinannya.

Untuk melihat tokoh-tokoh ideal dalam agama Hindu, maka dapat dirunut pada pengelompokkan atas profesi seseorang, dan di antara pengelompokkan atau stratifikasi masyarakat berdasarkan profesinya, maka para Brāhmaṇa atau panditalah yang menempati posisi paling atas, termasuk di dalamnya adalah para maharṣi, sanyāsin, sadhu atau orang-orang suci yang tersebut dalam kitab suci Veda maupun susastra Hindu lainnya seperti di dalam kitab-kitab Upaniṣad, Itihāsa, Purāṇa, termasuk pula kitab-kitab parwa dan kakawin di Indonesia. Intinya, kita bisa mengkaji melalui Veda dan susastra Hindu baik yang berbahasa Sanskerta maupun dalam karya sastra yang menggunakan media bahasa Jawa Kuno. Lebih jauh tokoh-tokoh ideal dalam agama Hindu dapat dimulai mulai dari tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kitab suci Veda, sebagai para Brahmavādinī  antara lain: Viṣvavārā, Apālā, Ghoṣā, Godhā istri dari Vasukra, saudara perempuan dari maharṣi Agastya, Lopāmudrā, ṣaṣvatī dan Romaṣā. Di samping nama-nama tersebut ada lagi Vāch (Sushil Kumar De, 1982: 130). Selain tokoh-tokoh Brahmavādinī  di atas, di dalam kitab-kitab Upaniṣad terdapat tokoh-tokoh yang dikenal sebagai wanita ideal dan ahli filsafat, yaitu: Maitreyī , Kātyāyanī , yang merupakan dua istri dari Yājñvalkya, seorang maharsi yang sering dan amat dominan disebutkan di dalam kitab-kitab Upaniṣad. Tokoh wanita lainnya adalah Gārgī , yang merupakan putra seorang tokohatau pahlawan yang berasal dari kota Banaras (Ibid: 138).

Berikut kami sampaikan bagaimana pandangan kitab suci Veda terhadap seorang perempuan, istri atau wanita: Seorang gadis hendaknya suci, berbudi luhur dan berpengetahuan tinggi (Atharvaveda XI.1.27). Seorang gadis menentukan sendiri peria idamanan calon suaminya (svayaṁvara/Ṛgveda X.27.12). Mempelai wanita sumber kemakmuran (Ṛgveda X.85.36), Seorang lelaki yang terlalu banyak mempunyai anak selalu menderita (Ṛgveda I.164.32). Terjemahan mantra ini menunjukkan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut seorang wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarga akan memperoleh kebahagiaan (Atharvaveda XIV.1.42).

Di samping hal tersebut di atas, seorang perempuan atau istri dituntut memiliki jasmani dan rohani yang sehat, mampu mendidik anak-anak dan memiliki Sraddha, dituntut aktif untuk melaksanakan upacara agama seperti dinyatakan dalam terjemahan mantra-mantra berikut:  “Mempelai wanita seharusnya melahirkan anak laki-laki yang memiliki karakter gagah dan berani, taat menyembah para dewa, ramah dan menyenangkan semua orang dan binatang-binatang yang ada dalam keluarga itu” (Ṛgveda X.85.43).

“Istri hendaknya taat melaksanakan upacara-upacara keagamaan” (Yajurveda XIX.94)

“Wahai mempelai wanita, duduklah di atas kulit rusa dan laksanakan upacara persembahan Agnihotra. Dewa Agni menghapuskan semua jenis polusi di lingkungan rumah tangga” (Atharvaveda XIX.2.24).

“Mempelai wanita (seorang istri) seharusnya melaksanakan kebaktian, memuja Sarasvatī . Dan menghormati orang tua dan keluarga” (Atharvaveda XIV.2.20)

“Wahai mempelai wanita, menjadi ibu rumah tangga yang baik, berbicara dengan baik (utamanya) dalam diskusi akademi” (Ṛgveda X.85.26).

“Wanita adalah pengawas keluarga, dia cemerlang, dia mengatur yang lain-lain dan dia sendiri yang taat kepada aturan-aturan, dia adalah aset keluarga sekaligus yang menopang (kesejahteraan) keluarga” (Yajurveda XIV.22)

“Istri sebenarnya adalah rumah itu. Dia adalah dasar dari kemakmuran keluarga” (Ṛgveda III. 53.4).

“Wahai mempelai wanita, jadilah nyonya rumah dan bimbinglah ayah mertua, ibu mertua, saudara dan saudari ipar” (Ṛgveda X.85.46).

“Seorang istri seharusnya berbicara kepada suaminya dengan lembut dan budi pekerti yang mulia” (Atharvaveda III.30.2).

“Wahai mempelai wanita, semoga engkau tetap selalu waspada dan berhati-hati untuk mencapai kehidupan seratus tahun (umur yang panjang)” (Atharvaveda XIV.2.75).

Lebih jauh keutamaan seorang perempuan atau wanita di dalam kitab suci Veda dinyatakan memiliki sifat innovatif, cemerlang, mantap, memberi kemakmuran, diharapkan untuk cerdas menjadi sarjana, gagah berani dan dapat memimpin pasukan ke medan pertempuran dan senantiasa percaya diri.(Yajurveda XIV.21, Ṛgveda VIII.33.19, Atharvaveda XX.126.10, Ṛgveda X. 86.9, Ṛgveda X.159.2, Atharvaveda I.27.2, 4; Yajurveda XIII.26, Yajurveda V.10 dan Atharvaveda XIV.2.14). Dalam pengamatan kami terhadap mantra-mantra Veda, tidaklah menemukan diskriminasi antara seorang perempuan dengan laki-laki, anak laki-laki dengan anak perempuan dan sejenisnya.

Demikian antara lain kedudukan atau posisi wanita di dalam kitab suci Veda, selanjutnya tokoh-tokoh wanita ideal lainnya dapat dijumpai dalam kitab-kitab Itihāsa dan Purāṇa, khususnya dalam Rāmāyaṇa, antara lain: Anasūyā (seorang wanita pertapa dan Jñānin yang pernah bertemu memberi nasehat kepada Rāma, Sitā dan Lakṣamaṇa), ṣabarī  (seorang bhakta yang tulus dan merupakan abdi dari maharṣi Mataṇga), Svayamprabha (pertapa wanita yang memberikan bantuan kepada Sang Hanūman), Ahalyā (istri maharṣi Gautama), Saramā (wanita yang ditugaskan oleh Rāvaṇa untuk menjaga dewi Sitā), Trijathā (putra Vibhī saṇa yang sangat telaten melayani dan melindungi dewi Sitā), Mandodarī  (istri Rāvaṇa), Tara (istri Sugriva yang dilarikan oleh Subali), Kausalyā (ibu Śrī  Rāma), Sumitrā (ibu dari Lakṣamaṇa dan Satrughna), Sītā (tokoh sentral dan wanita ideal dalam Rāmāyaṇa (Nihshreyasananda, 1982: 142-16). Dalam Mahābhārata, antara lain: Kuntī  (ibu dari Pandava), dan Draupadī  (istri dari Pandava/Tripurari Chakravarti, 1982: 173-176). Di samping itu terdapat juga: Śakuntalā (leluhur raja-raja Hastina/Pandava dan Kaurava), Damayantī  (istri prabhu Nala), dan Savitrī  (putri maharaja Aśvapati / Suniti Bala Gupta, 1982: 205, 214).

Di dalam kitab-kitab Purāṇa dapat dijumpai nama seorang wanita ideal, yaitu: Devahūtī  (ibu dari maharṣi Kapila, seorang tokoh dan pendiri dari filsafat Saṁkhya atau Saṁkhya atau Saṁkhya Darśana / Rajendra Chandra Hazra, 1982: 229). Hal yang sangat menarik, di Bali dapat dijumpai sebuah mantra yang populer disebut dengan nama Smarastava, Panca Kanyam. Mantram ini terdiri dari satu bait mantram yang biasa digunakan dalam upacara kematian, dengan harapan orang yang meninggal tersebut mencapai kebahagiaan di alam baka. Menurut informant pandita Śiva, mantram ini digunakan pada waktu upacara kehamilan (upacara pada saat seorang istri hamil) dan pada saat bayi berumur tiga bulan (C.Hooykaas, 1971: 38). Berikut kami petikkan mantram Smarastava, Pañca Kanyam, sebagai berikut:

Ahalyā Draupadī  Sitā,
Tārā Mandodarī  tathā,
Pañca-kanyam smaren nityam,
Mahā-pātaka-nāśanam.

(Seseorang hendaknya bermeditasi kepada 5 wanita
mulia, yaitu: Ahalyā, Draupadī , Sitā, Tārā dan Mandodarī .
Mereka yang melakukan hal itu, segala dosanya akan dile-
nyapkan).

Terhadap mantram di atas, Prof.Dr. C. Hooykaas memberikan penjelasan tentang ke lima wanita mulia itu, sebagai berikut: “Ahalyā populer dikenal sebagai istri dari maharṣi Gautama, ia melakukan perbuatan serong dengan dewa Indra dan kemudian dihukum dengan pengucilan abadi, yang kemudian diselamatkan oleh Śrī  Rāma. Draupadī  dan Sitā adalah masing-masing pahlawan wanita dalam Mahābhārata dan Rāmāyaṇa. Tārā adalah istri Bŗhaspati yang dilarikan oleh Soma, dan Mandodarī  tercatat sebagai yang paling favorit dari para istri Rāvaṇa. Ke lima orang wanita mulia itu digambarkan secara tradisional sebagai wanita yang sangat cantik dan menawan (1970: 38).

Demikian antara lain tentang peranan dan tokoh-tokoh perempuan ideal di dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu, di samping itu tentu terdapat pula perempuan-perempuan yang tidak patut diteladani. Dengan demikian terdapat dua tipe perempuan yang tentunya lebih ditekankan pada sifat atau karakter masing-masing dari indvidu tersebut. Membicarakan pengelompokan tipe perempuan secara universal sesuai pula dengan tipe atau kecenderungan berdasarkan sifat atau wataknya. Śrī  Kŗṣṇa dalam kitab suci Bhagavadgī tā membedakan dua kecendrungan yang terdapat pada diri umat manusia, yakni kecendrungan kedewataan atau Daivi Sampat, yang menyebabkan orang bersifat mulia dan kecendrungan keraksasaan atau Āsuri Sampat yang menyebabkan orang-orang berwatak jahat. Sifat-sifat yang mulia adalah sifat-sifat yang mengantarkan seseorang untuk mencapai kebahagiaan dan kelepasan (mokṣa), sedangkan sifat-sifat yang jahat menyebabkan orang terikat dengan belenggu kesengsaraan, siklus kelahiran dan kematian. Orang yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa, memandang dunia ini tanpa kebenaran, tanpa asas moral, tanpa Tuhan, tanpa koordinasi dan hanya terdiri dari hawa nafsu belaka. Hatinya tidak pernah puas untuk memiliki harta benda, membunuh musuh-musuhnya dengan keji dan memuaskan birahinya dengan jalan yang tidak dihalalkan (Pendit, 1995: 389 sifat-sifat mulia).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, tipe wanita berdasarkan sifat atau wataknya dapat dibedakan menjadi wanita yang memiliki sifat atau kecendrungan Daivi Sampad dan wanita dengan sifat atau kecendrungan Āsuri Sampad. Tipe yang pertama dalam kakawin Rāmayāṇa antara lain diwakili oleh penggambaran sifat-sifat dewi Kauśalyā, Sumitrā, Sitā dan Trijathā, sedang tipe yang kedua diwakili oleh sifat-sifat Kaikeyī  dan Sūrpanakā, di samping raksasi lainnya seperti Dhākinī  (Kakawin Rāmāyaṇa VIII.5-6) dan Vikathākṣinī  (Kakawin Rāmāyaṇa VIII.18-20).
Pembagian tipe perempuan lainnya adalah pembagian yang dikemukakan oleh seorang Svami bernama Nihshreyasananda (1982: 141) yang membedakan tipe wanita dalam Rāmāyana dalam tipe sebagai pertapa yang tinggal dan mengasingkan diri di hutan dan sebagai wanita rumah tangga yang hidup dalam aktivitas kemasyarakatan. Tipe yang pertama ditunjukkan dengan pertapa Anasūyā, ṣabarī  dan Svayamprabhā. Pembedaan lainnya adalah berdasarkan lokasi atau tempat pelaku atau peristiwa terjadi seperti wanita Ayodhyā: dewi Kauśalyā, Sumitā, Kaikeyī , Sitā dan wanita Laṇka seperti: Trijatha, Saramā dan Mandodari, di samping juga wanita di hutan seperti Sūrphanakā, Vikātakṣinī  dan Dhākinī , dan lain-lain.

  1. Persepsi masyarakat Hindu terhadap kepemimpinan perempuan

Persepsi masyarakat tentang wanita juga sangat dipangaruhi oleh sumber-sumber bacaan yang umum dijadikan teladan oleh masyarakat Hindu. Demikianlah ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu sangat menentukan sikap atau persepsi masyarakat tentang perempuan. Di dalam Manavadharmaśāstra (IX.33) dinyatakan bahwa perempuan menurut Smŗti adalah sebagai tanah, laki-laki dinyatakan sebagai benih, hasil terjadinya jasad badaniah yang hidup terjadi karena melalui hubungan antara tanah dan benih. Terhadap mitos penciptaan tersebut di atas menimbulkan dua penafsiran yang berbeda. Menurut Ranjana Kumari, potensi wanita (disimbolkan dengan tanah) dipandang kreatif dan penuh kebaikan, hanya apabila potensi itu terjalin secara harmonis dengan pria, jika wanita terpisah dengan pria maka akan menimbulkan bahaya dan kedengkian. Di dalam mitologi Hindu, dewi Kali berperan sebagai ibu, tidak berada di bawah pengawasan pria, maka dewi Kali merupakan simbol daya tarik yang menimbulkan kekacauan dan bahaya.

Dalam ceritera mitos tersebut dijelaskan bahwa dewi Kali melakukan tarian kemenangannya sesudah membunuh iblis yang besar. Dalam amukannya itu, ia membunuh dan merusak tanpa kontrol, bahkan para dewata tidak dapat menghentikannya. Ketika dewa Śiva, yang tidak lain adalah suaminya diutus untuk meredakannya, maka ia tertelungkup di bawah kakinya, sehingga dunia menjadi aman. Dalam mitos ini tampak Kali merupakan kekuatan destruktif apabila tidak dikendalikan, tetapi berkat kontrol suaminya, yaitu Śiva, maka ia bisa ditundukkannya, oleh karena itu sifat kedewataan wanita dalam agama Hindu hanya dapat diperoleh bagi mereka yang sudah kawin. Kawin adalah fase transformasi dari bentuk yang berbahaya menuju istri yang dicintai sebagai kekayaan dan kebahagiaan. Bagi mereka yang tidak kawin, mereka harus di bawah pengawasan kaum pria (Juwariah Dahlan, 1992: 73). Tentang pengawasan atau bimbingan oleh kaum pria ini dinyatakan pula dalam Manavadharmaśastra (V.148-149,IX.9-12). Demikian juga di dalam Bhagavadgītā dinyatakan bahwa anak-anak maupun wanita memerlukan perlindungan anggota keluarganya yang lebih tua. Dengan demikian menurut Ranjana Kumari seperti dikutip oleh Juwariah Dahlan di atas, ketergantungan wanita atas pria adalah mutlak. Berbeda dengan penafsiran Ranjana Kumari, K.V.K.. Thampuran memberi penafsiran yang menstarakan potensi pria dan wanita. Ia juga berangkat dari kitab Manavadharmaśāstra (I.32) yang menyatakan bahwa Brahman membagi dirinya atas dua bagian, yaitu pria dan wanita. Berdasarkan pada kitab tersebut, Thampuran melihat kesamaan pria dan wanita dari segi hakekat potensinya, wanita menurutnya tidak dapat dikatakan inferior dan superior. Wanita merupakan pasangan pria ideal. Lebih lanjut ia menyatakan: Semua ajaran Tantra mengagungkan wanita sebagai yang tertinggi. Sesungguhnya telah dinyatakan bahwa Tuhan Sang Hyang Śiva menjadi kuat hanya dengan bekerja sama dengan dewi Śakti……..berarti pria tidak lengkap potensinya sebelum bekerja sama dengan wanita.

Menurut Juwariah Dahlan, kedua penafsiran tersebut, sama-sama memandang wanita sebagai pasangan ideal pria, akan tetapi Ranjana Kumari mengutip beberapa beberapa syair kitab Manavadharmaśāstra yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa wanita tanpa dilindungi pria akan jatuh ke dalam kesesatan, sedangkan K.V.K. Thampuran semata-mata melihat keharmonisan pria dan wanita bila terjalin interaksi dan kerja sama yang baik, tanpa melihat lebih jauh titik kelemahan wanita apabila menyendiri, oleh karena itu Thampuran memandang wanita menurut tingkatannya sama. Guru Yajñvalkya Śoma, dan Agni memandang wanita selalu dalam pandangan murni, dan Ganha selalu mengucapkan kata-kata yang manis kepada wanita. Sifat buruk yang biasa disifatkan pada wanita, seperti dengki, murka dan sifat buruk lainnya bukan merupakan sifat dasar wainita (Juwariah Dahlan, Ibid,74).

Tafsiran K.V.K. Thampuran lebih menyesuaikan peranan wanita dengan perkembangan jaman modern. Menurutnya, Hinduisme bukan merupakan sebuah pemikiran filosofi dan sistem praktek keagamaan yang statis. Pemikiran dan praktek keagamaan Hindu yang berubah dan memodifikasi dirinya dalam periode sejarahnya sejak 5.000 tahun yang lalu. Selama periode itu, beberapa jaman terdapat masa di mana vitalitas Hindu pernah surut, namun dalam saat-saat yang sama agama Hindu tidak ketinggalan menarik kembali totalitasnya agar berperan penting dalam kehidupan orang-orang Hindu. Di samping itu meskipun agama Hindu mempunyai peranan yang kuat atas kehidupan umatnya, akan tetapi peranan tersebut bukan dalam bentuk latihan-latihan yang memiliki otoritas formal melalui lembaga-lembaga sosial, politik, dan ekonomi. Hal ini disebabkan karena agama Hindu tidak mempunyai struktur hukum dan tidak mempunyai kaitan dengan hal-hal yang berkenaan dengan negara. Otoritas agama secara umum ada dua, (1). kekuatan pengaruh pikiran-pikiran yang ada di dalamnya, (2).kekuatan dan pengaruh institusinya. Lebih, Juwariah Dahlan menyatakan, pandangan K.V.K. Thampuran antara lain menekankan pikiran-pikiran sebagai interpretasi kitab suci di samping institusi-institusi yang muncul dalam masyarakat Hindu, menyebabkan agama Hindu berusaha menyesuaikan diri dengan suasana jaman khususnya tentang urusan wanita (Ibid: 75).

Lebih jauh tentang potensi dan status wanita, Nyonya Gedong Bagoes Oka dalam makalahnya Wanita Dalam Perspektif Agama Hindu dan pembangunan manerim sebuah kesimpulan yang menyatakan: “Kalau ada potensi intelek yang begitu jernih dan tajam pada seorang atau beberapa wanita seperti tersebut tadi, maka potensi itu terdapat pada semua wanita, hanya manifestasinya berbeda derajatnya, yang disebabkan lagi oleh “conditioning”, kesempatan dan tekad atau kemauan” (1992: 62)

Dari pandangan tersebut di atas, bila kita mengkaji bahwa peserepsi masyarakat Hindu tentang perempuan adalah sama-sama mulia, sama-sama memiliki potensi dan fungsi sesuai dengan kodrat dan tanggung jawabnya masing-masing, artinya seorang perempuan bila mampu mengembangkan potensinya dengan baik, mampu melaksanakan swadharmanya dengan baik maka wanita benar-benar mendapatkan penghargaan yang sangat mulia, termasuk dalam kepemimpinan di masa yang lalu seperti yang dapat kita saksikan dalam perkembangan sejarah Indonesia di masa yang silam, antara lain kepemimpinan ratu Siṁhā di Jawa Tengah, Ratu Tribhuvanatuògadevī , kepemimpinan Dewa Ayu Muter di Smarapura, Jero Jempiring (istri dari Patih Jelantik) di Buleleng dan Sagung Wah di Tabanan, termasuk juga dalam kancah perjuangan kemerdekaan, tidak sedikit perempuan Hindu berjuang bahu-membahu bersama-sama pejuang laki-laki.

Selanjutnya tentang kepemimpinan perempuan dewasa ini, kembali seperti telah kami jelaskan di atas, bahwa tergantung kepada seorang kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi, peranan dan swadharmanya di tengah-tengah masyarakat.

  1. D. Beberapa kasus pelecehan perempuan

Di dalam pendahuluan makalah sepintas telah kami uraikan tentang pelecehan terhadap perempuan dewasa ini umumnya berlangsung di kalangan Triwangsa yang sangat kental berusaha untuk mempertahankan stautusnya untuk tetap dihormati oleh masyarakat, walaupun sebagian masyarakat tahu, bahwa pengakuan atau penghormatan yang diberikan kepadanya hanayalah semua terkait dengan perkembangan sosiologis di masa yang silam. Adapun beberapa bentuk pelecehan tersebut antara lain, seorangwanita yang berasal dari warga yang disebut Jaba atau Sudra akan berusaha mengganti nama asli dari perempuan tersebut dengan istilah Jero (walaupun beberapa ada yang telah mulai maju pemikirannya dan tidak mau menggantikan namanya) masih saja nampak di masyarakat penggantian nama tersebut, kadang-kadang alasannya hanya berlaku di kalangan intern keluarga saja.

Dewasa ini ada beberapa kasus yang menggelikan, misalnya dalam tradisi di masa yang silam, seorang anak apakah Ida Bagus, Ida Ayu, Anak Agung, I Gusti dan sebagainya, bila ibunya berasal dari warga Jaba meninggal, maka kawajiban yang sudah diwarisi turun-temurun untuk menghaturkan sembah kepada almarhumah, kini ada usaha-usaha untuk melarang anak-anaknya melakukan hal tersebut kembali, dan memandang ibunya sebagai wanita yang berasal dari keluarga rendah, pantang dari keluarga yang lebih tinggi untuk mengormati ibunya tersebut. Banyak reaksi terhadap pelanggaran tradisi ini, terutama datangnya dari warga-warga yang historisnya adalah para Brahmana seperti warga Pande, bhujangga dan Pasek, yang sebenarnya berdasarkan dari pendiri dinastinya (vaṁśakŗta) termasuk warga atau Brahmanawangsa. Pelecehan lainnya adalah dalam berbicara kepada ibunya yang berasal dari warga Jaba, anak-anak ditanamkan untuk berbicara yang tidak sama halusnya dengan berbicara dengan ayah dan keluarga ayahnya. Hal ini sebenarnya secara tidak langsung menanamkan pendidikan yang keliru yang mengarah kepada diskriminasi yang dampaknya adalah menodai kebenaran dan keluhuran agama Hindu dengan penyimpangan sistem Varna menjadi kasta yang dampaknya sangat luas termasuk dalam penggunanan Sadhaka, Manak Salah dan sebagainya, walaupun pendidikan agama telah demikian intensif ditanamkan namun belum berhasil seperti yang diharapkan. Dampak lainnya sebenarnya pada waktu proses perkawinan, seorang dari Triwangsa yang mengambil istri dari warga jaba tidak bersedia sembahyang pada pamarajan keluarga istri, karena alasannya roh yang disemayamkan adalah roh dari keluarga yang lebih rendah. Padahal bila kita kaji secara mendalam, bila roh leluhur (siapa saja) bila tidak suci, tidak akan dapat bersthana di pamarajan, malahan menjadi makhluk-makhluk yang sesat. Bila telah menjadi roh suci, maka kitab suci Veda menyatakan kepada roh suci siapapun kita patut menyembahnya. Bila hal ini disadari dengan baik, maka siapa saja akan bersedia melalukan sembahyang di pamarajannya milik siapapun.

Di samping hal tersebut, dalam hal kesempatan berbicara di forum keluarga atau juga pertemuan Banjar, perempuan biasanya tidak mendapat perhatian yang sama, rupanya hal ini diakibatkan oleh kentalnya sitem kekeluargaan patriarkat, di samping pula kurang perhatiannya terhadap pendidikan anak perempuan dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat.

  1. E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya bila kita mengkaji melalui pendekatan historis melalui kitab suci veda dan susastra Hindu maka kedudukan perempuan sangat terhormat, sejajar dengan kedudukan laki-laki dan bila mampu mengembangkan potensi dan swadharmanya dengan baik, ia sangat disegani oleh masyarakat.

Terjadinya pelecehan terhadap perempuan sebenarnya karena pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama Hindu serta didukung pula oleh dampak perkembangan agama Hindu di masa lalu yang didukung oleh masyarakat feodal. Melalui pendidikan yang baik, benar dan mantap, khususnya pendidikan budi pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan, pada saatnya pelecehan wanita tidak akan terjadi lagi. Semoga.Oṁ Śāntih Śāntih Śāntih Oṁ