PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES(POTONG GIGI)
Oleh; I Wayan Sudarma (Shri danu Dharma p)
Upacāra mapandes disebut pula matatah, masangih yang dimaksud adalah memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.
Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña.
- Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah:
Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā. - Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
- Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan pengertian dan makna upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggit pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa, Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.
Upacāra ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra
Adapun tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
- Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
- Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
- Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
- Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
Kini timbul pertanyaan, kapankah saat yang tepat untuk melaksanakan upacāra Mapandes? Bila kita memperhatikan berbagai sumber yang tertulis di dalam lontar, seperti lonatr Dharma Kahuripan dan lain-lain, sebenarnya upacāra ini dilakukan saat mulai pubertasnya seorang anak, dan bagi seorang gadis, saat setelah pertama kali mengalami menstruasi. Upacāra ini dapat digabungkan dengan Rajasewala atau Rajasingha bagi seorang gadis atau seorang perjaka.
Dalam kenyataan di kalangan umat Hindu, upacāra Mapandes ini dilakukan bersamaan atau dirangkai dengan upacāra Piṭṛa Yajna terutama Mamukur atau dirangkai sebelum upacāra Pawiwahan (perkawinan), dilakukan secara masal bergabung dengan keluarga besar untuk mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.
Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacāra Mapandes, dan maut telah menjemput, berbagai tanggapan muncul, yakni apakah perlu upacāra bagi seseorang yang telah meninggal. Terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan jalan ke luar, sebagai berikut:
- Mapandes adalah upacāra Manusa Yajña (Śarīra Saṁsakara) yang patut dilaksanakan pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah tangga). Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
- Bila orang tua yang bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya dengan upacāra simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai, dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi diupacārakan Mapandes.
- Dengan demikian orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.
Berdasarkan rangkaian upacāra Mapandes yang dilaksanakan, maka makna yang dikandung dari rangkaian upacāra tersebut adalah sebagai berikut:
- Magumi Padangan. Upacāra ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana di dapur.
- Ngekeb. Upacāra ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
- Mabhyakāla. Upacāra ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhūtakāla, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan). Upacāra ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
- Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacāra ini mengandung makna untuk:
a) Memohon wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacāra potong gigi.
b) Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata (matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Uma dan Śiva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.
c) Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.
d) Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.
e) Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan batin.
f) Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Śiva) yang telah menganugrahkan kelancaran upacāra ini seperti simbolik Sang Hyang Śiva memotong taring putra-Nya, yakni Bhatāra Kāla.
- Upacāra di tempat (bale) Mapandes. Setelah selesai upacāra di pamarajan, maka remaja yang mengikuti upacāra Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya menuju tempat upacāra Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacāra yang dikandung adalah sebagai berikut:
a) Menyembah dewa Sūrya untuk mempermaklumkan sekaligus memohon persaksian-Nya.
b) Menyembah Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, agar senantiasa dimbimbing ke jalan yang benar, sekaligus memohon benih yang terkandung dalam diri masing-masing (sukla-svanita), jangan sampai ternoda hingga kehidupan berumah tangga melalui perkawinan di kemudian hari.
c) Memohon Tirtha kepada Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, sebagai simbol telah mendapat restu dan perkenan-Nya.
d) Ngayab Banten Pangawak Bale Gading, untuk memohon kekuatan lahir dan batin, karena masa pubertas penuh dengan tantantangan hidup termasuk dorongan nafsu yang jahat.
e) Mepandes, yakni dilaksanakannya upacāra panggur oleh sangging, guna menyucikan diri pribadi dari gangguan Sadripu.
f) Menginjak banten paningkeb, mengandung makna selesainya upacāra Mapendes, dengan Sadripu dan Catur Sanak telah memperoleh penyucian.
- Menikmati Sirih-lekesan, simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan bermacam kenikmatan hidup dan tantangan, dan Sang Hyang Śiva beserta Pañca Dewata senantiasa akan melindunginya.
- Kembali ke tempat Ngekeb, mengandung makna kembali melakukan tapa brata, menyucian diri, lahir dan batin.
- Mejaya-jaya, yakni mengikuti upacāra yang dipimpin oleh Pandita (Sulinggih) berupa pemercikkan Tìrtha, yang mengandung makna yang bersangkutan telah dan senantiasa akan memperoleh kemenangan dalam menghadapi godaan dan dorongan untuk berbuat jahat.
- Mapinton. Upacāra ini mengandung makna mempermaklumkan kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan upacāra Mapandes dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan-Nya.
Demikianlah sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacāra Mapandes, yang tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Śraddhā dan Bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DAN KELUARGA
Upacāra Mapandes adalah merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) untuk menyelenggarakannya, dan bila kita kaji secara seksama, seorang anak sesungguhnya adalah pula leluhur kita yang menjelma untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (lahir dan batin) yang pada akhirnya dapat mengantarkannya guna mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan dan kebahagian hidup di dunia ini) dan Mokṣa (bersatunya Ātman dengan Paramātman).
Dalam melakukan Yajña ini, landasan yang paling mendasar bagi Sang Yajamana (yang melaksanakan atau yang memiliki upacāra itu), Sang Amancagra (tukang bebanten dan sangging), dan Sang Pandita (yang memimpin dan menyelesaikan upacāra) adalah ketulusan hati. Ketulusan ini patut pula diikuti oleh para Athiti tamu undangan) guna Yajña tersebut berhasil Śiddhakarya.
Untuk mengembangkan ketulusan hati, utamanya Sang Yajamana bersama keluarga hendaknya dapat melakukan berbagai Brata, seperti Upavaśa (mengendalikan diri untuk tidak menikmati makanan) pada saat puncak upacāra berlangsung, dan senantiasa memusatkan pikiran kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur untuk keberhasilan dari Yajña yang diselenggarakan.
PENUTUP
Demikianlah tulisan singkat ini kami sampaikan dalam rangka mewujudkan partisipasi kami, semoga Yajña yang sangat mulia ini mencapai Śiddhaning Don, Śiddhakarya sebagai yang kita harapkan.
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ
December 16, 2009 at 14:20
very usefull info thanks.
LikeLike
June 1, 2010 at 20:29
suksma
LikeLike
February 1, 2010 at 15:25
Om swastiastu,
saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Bp. Wayan Sudarma atas referensi tentang Makna dan pengertian upacara potong gigi.
salam kami
Made Wirata di Sorong-Papua Barat
Om santi santi santi om.
LikeLike
February 2, 2010 at 08:39
om swastyastu
salam kasih semoga bapak dan seluruh umat di sorong selalu dilimpahkan kerahayuan
matur suksma sampun ledang mampiri ring gubuk sederhana niki
rahayu
LikeLike
February 14, 2011 at 20:28
yg ingin potong gigi di aceh hub maskiki ahli potong gigi tujuan pengobatan hp 085310641972
LikeLike
February 6, 2012 at 10:44
Om Suastyastu.
Terima kasih Pak Yan, atas share infonya.
Mencermati, pemaknaan dari upakara-upakara yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali, khususnya Upakara Potong gigi, juga dapat dipakai sebagai pengingat bagi kita akan apa yang seharusnya dilakukan selama hidup ini, agar dapat tercapainya tujuan utama dari hidup ini. jadi, tidak hanya berhenti pelaksanaan upakaranya saja.
Mogi rahayu lan santih.
Om Santih Santih Santih Om
Putraka
LikeLike
March 12, 2012 at 09:15
Om Swastyastu
inggih patut nika pak, kembali ke kerangka dasar agama Hindu (Tatwa, Susila< Upacara) meski berjalan sinergi
suksma sampun singgah
LikeLike
August 23, 2012 at 10:44
Om Swasti Astu.
Mohon dielaborate hubungannya dengan kitab Weda untuk upacara potong gigi , suksma.Om Canti Canti Canti Om.
Rahajeng Galungan lan Kuningan.
Dumogi Rahayu.
Aryana.
Denpasar Bali.
LikeLike
October 12, 2012 at 08:59
Om Swastyastu
suksma inputnya bapak…akan tiang usahakan
LikeLike
November 13, 2012 at 09:22
om swastyastu, tiang mau tanya sedikit tentang merajasewala. apakah upacara merajasewala ( menek kelih ) bisa dilakukan kapan saja ataukah menunggu hari kelahirannya ( otonan).
LikeLike
February 6, 2013 at 23:11
Secara umum upacara Rajasewala ini dilakukan ketika si anak menginjak dewasa. Boleh dengan memilih dewasa ayu, atau juga berbarengan saat otonannya.
Suksma
LikeLike
September 25, 2014 at 20:09
Om Swastyastu. Saya mau tanya. Apa sebenarnya manfaat dari mepandes atau metatah tersebut?
Oh iya, postingan anda sangat bermanfaat dalam tugas agama saya.
LikeLike
September 27, 2014 at 05:28
Om Swastyastu
Sebagai sebuah keyakinan. Upacara Mepandes bermanfaat bagi proses pengendalian diri. Karena setiap upacara yang dilaksanakan diharapkan mampu membawa perubahan dalam tata laku kita agar bisa menjadi manusia yang berwatak kedewataan
LikeLike
October 9, 2014 at 10:39
suci tidaknya seseorang tergantung dari perbuatan, perkataan dan pikirannya, mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal-lal yang dilarang agama, hindu mengajarkan kita pata etika yang diaplikasikan melalui tindakan kita sehari-hari, bukan pada simbolis-simbolis..
LikeLike
October 9, 2014 at 10:49
Suksma komentar nta Pak Bungkling….saya setuju….inti dr kebaradaan kita adalah tri kaya parisuddha.
Namun demikian semua upacara samskara juga dimaksudkan agar umat dpt belajar dr simbol2 agama itu. Krn simbol adalah media dimana kita bs belajar banyak hal…termasuk etika dan tata laku.
Tanpa simbol kita tdk bs mengukur nilai apakah laku kita sdh mengalami kemajuan atau kemunduran.
Dalam simbol terkandung segudang nilai yg bermanfaat bg perbaikan kualitas tata laku kita.
LikeLike
October 12, 2014 at 19:19
jika benar demikian dimana tolak ukur antara gigi yang dipotong dengan sat ripu yang ada dalam diri manusia? apakah dengan memotong gigi/metatah yang mengeluarkan cukup biaya dalam pelaksanaanya dapat memjadi jaminan seseorang yang telah metatah akan dapat menjadi baik karna sifat-sifat raksasanya telah hilang? bagimana seseorang yang setelah metatah dia melakukan hal-hal yang dilarang agama, misal mencuri, korupsi, marah hingga menganiaya seseorang dsb, apakah hal tersebut membuat seseorang tidak menjadi berdosa dikarenakan telah metatah walaupun melanggar larangan agama.
LikeLike
October 19, 2014 at 18:58
Setiap aktivitas keagamaan yg dilakukan manusia adalah utk perbaikan kualitas hidup. Persoalan berhasil atau tdk adalah bagaimana tiap pribadi itu memaknai apa2 yg telah mereka lakukan. Tak ada jaminan orang yg sudah beragama lalu menjadi baik. Namun beragama dan melakukan kewajiban agama yg diyakini…merupakan jalan atau cara bagaimana manusia bisa meningkatkan kualitas dirinya.
Jika upacara melandasi tak ada signifikansinya dengan perubahan hidup….saya kira Susastra tidak akan merekomendasikan untuk dilakukan, sebagai sebuah jalan memperbaiki diri.
LikeLike
October 28, 2014 at 10:32
itu artinya anda juga sependapat bahwa penekanan pada aplikasi tindakan yang meski kita lakukan sesuai dengan perintah weda, misal “tri kaya parisuddha” yang menekankan pada tindakan, pertanyaan saya dimana manfaat potong gigi yang menghabiskan banyak biaya tersebut? apabila seorang manusia mampu meaplikasikan “tri kaya parisuddha” dalam kehidupan sehai-harinya apakah akan berdosa karena tidak potong gigi? apakah upacara potong gigi tersebut diatur dalam kitab suci weda? karena weda merupakan acuan kita berkehidupan sehari-hari yang dapat menuntun kita mencapai tujuan tertinggi, jika upacara potong gigi tersebut diatur dalam weda kenapa umat hindu di india, jawa, dll tidak melaksanakannya? menurut hemat saya upacara potong gigi tersebut diatur dalam susastra setelah weda yang hanya dilakukan dibali, itu artinya upacara tersebut merupakan sebuah tradisi yang menjadi budaya, dan sebaiknya tradisi tersebut semestinya perlahan-lahan kita hilangkan, lakukanlah upacara-upacara yang telah diatur dalam weda, atau dengan cara lain memberi pemahaman kepada umat hindu kususnya dibali bahwa upacara tersebut bukan bagian dari agama melainkan tradisi atau budaya yang mengadopsi konsep sat ripu yang diterapkan melalui upacara potong gigi, sehingga kesannya tidak menyimpang dari weda yang berpotensi dilakukan oleh susastra yang mengatur atau umat yang melaksanakannya, kenapa kita tidak melakukan yadnya-yadnya dengan memberi sumbangan untuk membangun tempat suci terhadap saudara-saudara kita yang ada diperantoan? atau membangun pasraman bagi anak-anak tidak mampu kemudian memberi pendidikan agama untuk memperkuat sradha sehingga membentuk pondasi yang kuat, apabila suatu saat anak tersebut keluar daerah merantau tidak gampang diserang dengan pemahaman/idiologi agama lain yang tampak benar meski belum tentu benar yang kemudian dengan gampang goyah dan pindah agama, atau mendirkan pesraman didaerah perantoan memperkuat sradha/pondasi umat yang ada diperantoan, karena daerah perantoan sangat rentan goyah, dengan mendatangkan tenaga ahli dari daerah bali atau daerah lain yang profesinal, itu mimpi saya, dan saat ini saya belum terbangun dari mimpi saya.
LikeLike
November 20, 2014 at 20:10
saudara ku, kami dirantau kesulitan mendirikan tempat ibadah, tidakah saudara-saudara ku ini merasa prihatin??? kami tidak tahu umat hindu itu ada di tempat saya merantau, karena tidak ada sentral yang bisa mempertemukan kami yaitu itu tempat ibadah!!!! kami bisa tahu kalau ada saudara kami ketika secara tidak sengaja ketemu di warung makan atau warung kopi, maka daripada itu daripada melakukan ritual-ritual yang menghabiskan banyak biaya lebih baik beryadnya lah membantu saudara-saudara kita yang ada di aerah yang kesulitan dana untuk pembangunan pura atau tempat ibadah… itu lebih mengena makna berkurban atau beryadnya dan bermanfaat bagi umat, kenapa kita mencontoh umat lain??? di mana hal tersebut juga diajarkan dalam weda namun pada kenyataannya tidak pernah dilaksanakan, saya katakan begitu karna tidak pernah terdengar bantuan-bantuan saudara ku terutama dari daerah Bali yang mayoritas beragama hindu, perbanyaklah baca weda, terutama Bagawatgita, karena pada pancamo weda tersebut di uraikan tentang jenis-jenis kurban atau yadnya yang sebenarnya. kurangi dan selektiflah dalam membaca lontar-lontar yang dijadikan acuan karena tidak semua lontar-lontar tersebut sejalan dengan ajaran weda…. dalam bagawadgita mengatakan pengetahuan lebih tinggi dari yang lainnya karena dengan pengetahuan manusia bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dengan pengetahuan itu orang akan mengetahui apa yang dilakukan dan apa yang mesti tidak dilakukan, mana yang benar mana yang keliru.. trims.
LikeLike
November 26, 2014 at 09:12
knp g muncul komentar saya yang lainnya????
LikeLike
December 6, 2016 at 08:26
Om swastyastu, pertama menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas pencerahan dari Sri Danu Dharma, sahabat saya yang telah menguraikan makna dan tujuan Upakara Mapandes. Kita di Bali agak sulit memisahkan antara tradisi yang telah menjadi budaya dengan ajaran agama Hindu. Tradisi yang terpelihara dengan baik sejak era kerajaan, bahkan sejak agama Hindu masuk ke Bali, akhirnya disempurnakan dengan kehadiran para Resi yang membawa ajaran Weda sehingga tradisi tersebut telah diterima oleh masyarakat luas dan sesuai dengan ajaran weda (tidak mesti harus tercantum dalam Catur Weda). Dalam mengfhadapi Era globalisasi ini, kebajikan local yang terpelihara dan ditaati masyarakat sudah seharusnya kita pertahankan sebagai identitas bangsa, karena hal tersebut belum tentu ada di tempat lain. Mengenai besarnya biaya yang dibutuhkan kini sudah ada solusinya, yaitu dengan dilakukan secara bersama (massal) sehingga menjadi efisien. Apa yang baik bagi masyarakat mari kita jaga dan pelihara. Om Santhi, Santhi, Santhi, Om.
LikeLike
December 8, 2016 at 12:23
Om Swastyastu
Suksma dahat pak Pande Made Cakra….sampun ledang mengunjungi Blog tiang niki.
Suksma sudah memberikan komentar yang sangat menguatkan saya dan juga umat yang membacanya.
Dan apresiasi untuk kegiatan upacara manusa yadnya massal…kemarin….sangat bagus. Dan patut dikembangkan terus….sebagai agenda rutin.
Om Santih Santih Santih Om
LikeLike
January 10, 2018 at 09:22
Tulisan yang dituangkan sangat terperinci dan mudah dibaca. Tinggal ditambahkan foto saja pak.
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
LikeLike
October 29, 2018 at 14:59
[…] https://dharmavada.wordpress.com/2009/10/05/pengertian-dan-makna-upacara-potong-gigi/ […]
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
LikeLike