UPACĀRA  DAN UPAKĀRA  SEBUAH KAJIAN FILOSOFIS*

 

I WAYAN SUDARMA (SHRI DANU DHARMA P.) – KOTA BEKASI**

 

Om Swastyastu,

Om Agni Wijaya Jagatpati ya namaha, Om Visvadeva ya namaha, Om Aim Kalim namo Durgayai  namaha, Om Shri Guru Bhyo namah Harih Om, Namame smaranam padame sharanam

 

A. Pendahuluan

 

Seiring dengan pesatnya perkembangan Iptek dan gencarnya penyiaran agama baik yang dilakukan oleh PHDI, Departemen Agama, LSM, Organisasi Kepemudaan, Banjar dan Desa Adat, membuat perkembangan umat Hindu terutama dari sisi kualitas semakin menggembirakan. Hal ini tampak dengan semarak diadakannya acara-acara keagamaan baik dalam bidang ritual, kesenian, seminar keagamaan, munculnya kelompok – kelompok kajian Veda, sekeha pesantian, kelompok meditasi dan sebagainya. Kondisi ini menggambarkan adanya penyadaran akan eksisitensi sebagai hamba Hyang Widhi, dengan selalu mendekatkan diri kepadaNya melalui jalan Bhakti, dengan melakukan pemujaan ataupun dengan Upacāra  yajña. Namun di balik semua kemeriahan dan ketaatan itu, belum kita rasakan ada dampaknya terhadap kehidupan Umat Hindu secara umum, justru semakin banyaknya konflik yang terjadi, rasa kebersamaan, kesetaraan dan toleransi di antara sesama umat Hindu semakin menipis, masih adanya diskriminasi dalam kehidupan beragama (apalagi di Bali), dengan dalih ”Aywa Wera” dan masih banyaknya oknum yang mengobjekkan umatnya sendiri, dengan memanfaatkan berbagai kelemahan dan ketidaktahuan umat, demi keuntungan pribadi dan kelompok mereka sendiri, dengan mengatakan ’kamu tidak boleh membuat ini ataupun itu, karena kamu orang sudra/panjak, berasal dari non- Bali dan tadinya non- Hindu, kamu tidak boleh memada-mada’.

Berbeda dari apa yang terdapat dalam susastra Veda, bahwa semua umat berhak dan wajib mengetahui, meresapi, menghayati dan melaksanakan segala kewajiban agama sebagai sebuah Dharma sesuai dengan guna dan swadharmanya masing-masing, terlepas dari siapa mereka, apa warna kulitnya, dari kelahiran mana mereka berasal, apa jabatannya, semuanya harus tunduk kepada hukum hukum agama, baik Sruti Smrti, Sila, Acara dan Ātma nastusti (Manawadharmasastra, II.6).

Ajaran Agama tidak cukup hanya diketahui dan dimengerti saja, harus dibarengi dengan penghayatannya, dari semua itu pengamalan dalam bentuk perilaku sehari-hari kita di dalam bermasyarakat itulah yang paling utama. Semakin sering kita sembahyang, beryajña, membuat Upakāra  hendaknya kita dapat meningkatkan sikap, moral dan perilaku kita menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai dengan kaidah Dharma. Karena setiap Upacāra  dan Upakāra  yang kita buat pada dasarnya merupakan penjabaran ajaran agama dan memiliki hakekat sebagai pembelajaran diri, dalam menata  hidup dan kehidupan sehingga dapat meniti ke tujuan utama kelahiran ini, yaitu ”Mokshartam Jagadhita”

 Setiap Upacāra  (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra  tersebut dan memahami makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra  dan Upakāra  harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan: “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten (upakāra)  adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta)  Demikian pula dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam,  banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

 

B. Tujuan Yajña

 

            Tujuan pokok Yajña, antara lain:

  1. Untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Veda yang bersifa rahasia
  2. Sebagai sarana menyeberangkan Ātma  untuk mencapai Moksha
  3. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Hyang Widhi.
  4. Sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan (tri hita karana).
  5. Sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa.
    1. Sebagai sarana pendidikan yang bersifat praktis  (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 11).

 

C. Landasan Yajña:

 

Setiap Yajña yang ingin dibuat/diadakan harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam Veda, hal ini dimaksudkan agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam, karena hanya kualitas yajña yang Śāttvamlah yang dapat menghantarkan orang yang mengadakan yajña mencapai kemanunggalan dengan Brahman, adapun landasan yajña sesuai dengan Manavadharmasastra, VII.10, yaitu:

  1. Iksa; tujuan yang ingin dicapai melalui yajña tersebut harus jelas
  2. Sakti; harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM, maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan hutang.
  3. Desa; disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu akan dilakukan,  kearifan daerah setempat (lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada kesan pemaksaan
  4. Kala; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya juga harus diperhatikan sehingga yajña tersebut efektif dan efisien serta bermanfaat positif
    1. Tattva; harus merujuk pada ketentuan sastra agama baik Sruti, Smrti, maupun Nibandha.

Disamping hal tersebut di atas, agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam harus memenuhi standar/mutu seperti apa yang telah ditetapkan dalam Bhagavadgītā, XVII. 11-14, yaitu:

l   Sraddha; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati

l   Sastra; sesuai dengan petunjukk sastra

l   Gita; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi

l   Mantra;terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk memeuliakan Hyang Widhi

l   Lascarya; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati

l   Daksina; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada Sang Sadhaka (pandita/pinandita)

l   Annaseva; menjamu  dengan senang dan tulus setiap tamu dengan makanan dan minuman yang menyehatkan badan dan rohani

l   Nasmita; tidak ada unsur pamer atau jor-joran.

 

E. Tujuan Upacāra

 

            Secara umum tujuan diadakanya Upacāra  menyangkut empat hal, yaitu:

  1. Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyakan pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra  itu sendiri.
  2. Sebagai pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup;  suka berderma dan tidak rakus/lobha.
  3. Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati) menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju Vijñana  (bijaksana) menuju Kstrajña (kesadaran illahi).
  4. Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari belenggu samsara  atau manunggaling kawulo lan gusti

                                        

F. Fungsi Upakāra  Secara Umum

 

  1. Sebagai linggih dan perwujudan Hyang Widhi
  2. Sebagai sarana cetusan angayu bagia (persembahan)
  3. Seagai sarana permohonan
  4. Sebagai sarana pensucian lahir-batin

 

G. Upakāra  yang dipakai secara rutin

 

  1. HANGKEN MASAIBAN Babanten: ngayat rikale wusan meratengan, antuk ajengan lan saruntutannya saha ngangga dupa/asep, genahe mebanten ring palinggih-palinggih pamekas ring Ide Hyang Brahma, Visnu, Hyang Sri, Bhatara Guru, miwah sane lian-lianan; patut kalaksana yang satunggil wuwusan meratengan, mesaiban dumun wawu raris dados mejengan, ngangge mantre: OM SANG BHUTA PRETHA YA NAMAH
  2. HANGKEN KLIWON: Maturan ring genah-genah suci : canang genten lemgawangi, canang sari. Mesegah kepelan putih, ring natar merajan, katur ring Bhuta bucari, ring natar pekarangan mesegah pateh katur ring Sang Kala Bhucari, ring dengen/lawang taler mesegah pateh katur ring Hyang Dhurga Bhucari.
  3. HANGKEN KAJENG KLIWON: Mesegeh kepelan warna tiga (putih, barak, selem), genahe masegeh pateh kadi nuju kaliwon, maweweh maturan ring palinggih-palinggih pengijeng sane wenten.
  4. HANGKEN PURNAMA: Maturan ring Hyang Ratih : yan nuju sasih karo, Kasa, Katiga, Kalima, Kaenem, Kapitu, Kawulu, Kasanga, Jyestha, Sadha: Canang genten, lengawangi-buratwangi, canang sari, canang pareresikan, canang payasan,  masegeh  segehan kepelan putih .Muang yan sasih kalima maweweh maturan penek kuning lan cangan raka. Masegeh cacahan putih, utamannya antuk segehan agung, genahe masegeh patah kadi ring ajeng, maweweh ring kahyangan-kahyangan manut amongan.
  5. HANGKEN TILEM: Yang nuju sasih kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kadasa, Jyestha muang Sadha, maturan ring Hyang Surya: Canang genten lengawangi-buratwangi, cangan sari pabersihan, canang payasan, penek kuning, cangan raka, yan nuju sasih Kaenem aturane maweweh : manut onggahan ring bhuta-yajña.
  6. HANGKEN TILEM KAPITU: Siva Ratri sajabaning kadi ring ajeng, mawuwuh maturan pangabaktian ring Ida Hyang Siva saha upakāra : sekar bang putih ireng lan kawangen majinah 11 medaging daun bila 6 bidang.
  7. HANGKEN TILEMING SASIH KAENEM, KAWULU: Sinalih tunggil ring Tilem inucap, ngawentenang Bhuta yajña, sane mawasta nanggluk merana, nganggen caru sakasidan, maka serana nunas karahajengan sajeroning kahuripan lan selanturnya, pangastawa ring Hyang Ludra maweweh suci asoroh jangkep lan sesayut-sesayut byakala.
  8. HANGKEN TILEMING KASANGA: Ngelaksanayang tawur Kasanga paling alit antuk caru manca sato, tan sejeroning dese pakarangan manut sakasidan desa punika, ring pakarangan masegeh kepelan mawarna tiga, sagehan nasi sasab 108 tanding lan segehan agung ; caru punika katur ring Sang Bhuta Kala, ring Sang Kala Raja, nasi kepel sane mawarna lima, katur ring sang parabalan Sang Bhuta Kala Raja Sari, genah mecaru ring pempatan.
  9. HANGKEN PAGER WESI: Maturan ring Hyang Iswara/ring genah-genah suci: canang sari, canang maraka lan sasayut pageh urip.

10.  HANGKEN TUMPEK LANDEP: Maturan ring Hyang Pasupati : canang raka, canang sari, sesayut jayeng perang, saha pangodalan senjata minakadi : tumbak, keris miwah sekancan punika.

11.  HANGKEN GALUNGAN: Maturan ring Hyang  Paramestiguru : canang meraka, canang canang lengawangi-buratwangi, penek, pasucian, sodan, banten guru, lan pasuguh lianan sakasidan, saha memenjor jangkep madaging pala bungkah-pala gantung raka matah-lebeng.

12.  HANGKEN KUNINGAN: Maturan ring Hyang Paramestiguru; canang wangi-wangi, canang pasucian, cangan raka, sodan, penek kuning maulam kuning taluh, ring penataran ngaturang segehan ring sang Bhuta Galungan sareng ring para iringan Idane suri, nanging maturan paling lambat tajeg Surya mangda sampun puput. Ring angga sarira natab sesayut prayascita, segehan kuning, panyeneng maka pangenteg bayu – sabda – idep.

13.  HANGKEN TUMPEK WARIGA/TUMPEK BUBUH: Maturan ring Hyang Sangkara; canang wangi-wangi, bubuh gendar, peras tepeng raka-raka, panyeneng genahe ngilehang ring tegal ring sawah

14.  HANGKEN TUMPEK UYE: Tumpek puniki pawotonan sarwa ubuh-ubuhan ring Hyang Ludra : canang raka, katipat bagia, balayag paneneng, tebusan sida malungguh, sano kawidhi-widananin sakancan ubuhan-ubuhan minakadi :ayam, banteng, paksi, miwah sakancan punika.

15.  HANGKEN TUMPEK WAYANG: Maturan ring Hyang Iswara: canang raka, canang wangi-wangi, pasucian, peras ajengan, sasayut pala kerti, sarengang ring pangodalan sarwa tatangguran minakadi : gong, gambang, angklung, wayang, gender miwah sekancan punika.

16.  HANGKEN SANISCARA UMANIS WATUGUNUNG: Maturan ring Hyang Saraswati; suci peras daksina, penek, kembang payas, sasayut saraswati, raka-raka, canang wangi-wangi, puniki katur ring pustaka-pustaka ring pangodalan sakasidan.

17.  HANGKEN REDITE PAING SINTA/BANYU PINARUH: Maturan ring Hyang Saraswati : asuci laksana, cangan unggahan masirat toya anyar.

18.  HANGKEN COMA PON SINTA/COMA RIBEK: Maturan ring Hyang Sriamertha : odalan beras : canang burat wangi, canang raka, beras kuning, tobasan amerta rawuh sai.

19.  HANGKEN ANGGARA WAGE SINTA/SABUH MAS: Maturan ring Hyang Mahadeva : odalan sarwa berana : canang burat wangi, canang raka, beras kuning, tebasan bagia satata sai.

20.  HANGKEN REDITE UMANIS UKIR: Maturan ring Hyang Guru : canang burat wangi, tebasan pageh urip.

21.  HANGKEN ANGGARA KLIWON KULANTIR: Maturan ring Hyang Mahadeva : canang genten, segehan kepel putih, soda putih kuning.

22.  HANGKEN ANGGARA KLIWON JULUNGWANGI: Maturan ring Hyang Sri :canang genten.

23.  HANGKEN WERASPATI WAGE SUNGSANG/SUCI MANIK JALA: Maturan ring Hyang Pawitra : pararebuan, sodan, canang genten, segehan agung, ring lebuh ring natar pakarangan, ring natar pamrajan segehan cacan.

24.  HANGKEN SUKRA KLIWON SUNGSANG/SUCI MANIK BALI : Maturan ring Hyang pawitra : parerebuan, sodan, cangan genten, segehan agung ring lebuh, ring pamarajan ring natar pakarangan segehan cacan.

25.  HANGKEN REDITE PAING DUNGULAN/DANYSEEBAN

Maturan ring pemayung ring sang Butha amangku rat, ring sang butha kala dungulan saha Upakāra : segehan manca warna tiga tanding.

26.  HANGKEN COMA PAING DUNGULAN/PANYAJAAN GALUNGAN

Maturan ring Hyang Kala tiga : segehan manca warna tiga tanding, genahe maturan ring lebuh, ring natar sanggah, ring natar pakarangan, banten mapamayuh  sekadi ring ajeng.

27.  HANGKEN ANGGARA WAGE DUNGULAN/PANAMPAHAN GALUNGAN

Maturan ring Hyang Kala tiga,kadi ring ajeng : sodan, pabyakalan, tebasan galungan, panyeneng lan canang gentan.

28.  HANGKEN WERESPATI UMANIS DUNGULAN/MANIS GALUNGAN

Maturan ring Hyang Dharma : banten penganyaran, katipat maulam sakasidan, canang genten, genahe maturan ring bale miwah ring pamerajan.

29.  HANGKEN SUKERA PAING DUNGULAN/PANGEREBAGAN

Maturan ring Hyang Widhi : suwarnaning katipat maulam sukasidan, canang genten meraka tape.

30.  HANGKEN REDITE WAGE KUNINGAN/ULIHAN JAWA

Maturan ring Hyang Pramesti Guru : sodan, segehan cacan, canang genten

31.  HANGKEN SOMA KLIWON KUNINGAN/ULIHAN BALI: Maturan ring Htyang Pramwsti Guru : Sang butha Galungan : canang burat wangi, canang genten, sodan, segehan kepel.

32.  HANGKEN SUKERA WAGE KUNINGAN/PENAMPAHAN KUNINGAN: Maturan ring sang Kala Galungan : mapasuguh jajaron matah, canang genten, sodan maulam sukasidan.

33.  HANGKEN BUDHA KLIWON PAHANG/PEGAT WAKAN

Maturan ring Hyang Licin : canang burat wangi, canang sari, segehan kepel.

34.  HANGKEN SUKERA WAGE WAYANG/KALA PAKSA

Maturan ring Maha Kala: Bayakalan Linggian maselat nganggen pandan.

35.  HANGKEN BUDHA WAGE KELAWU: Maturan ring Hyang Sedhana, ngodalin seraja Berana : canang lenga-wangi-buratwangi, tebasan bagia sotata suci.

36.  HANGKEN SUKRA UMANIS KELAWU: Maturan ring Hyang Sri ngodalin pantun canang burat wangi, pangeresikan, sodan, tebasan amerta rawuh sai. (No.1 s/d 36 bersumber dari Lontar Mpu Lutuk dan Lontar Sundari Gama; Koleksi Pribadi)

 

H. Cara Membuat Dan Makna Filosofis Beberapa Upakāra :

 

  1. 1.    CANANG SARI

 

            ”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”. Canang sari yaitu inti dari pikiran dana niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian  (lontar Mpu Lutuk Alit). Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra  yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?. Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan. Yaitu:

ü  Ceper. Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini.

ü  Beras. Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma . Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma  menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya.

ü  Porosan. Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan), Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran). Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.

ü  Tebu dan pisang. Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.

ü  Sampian Uras. Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama (Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.

ü  Bunga. Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selaludilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.

ü  Kembang Rampai. Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun,  karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.

ü  Lepa. Lepa  atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.

ü  Minyak wangi. Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini.

Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala.

Karena ketaqwaan seseorang beragama bukanlah dinilai dari seringnya mereka sembahyang atau menghaturkan persembahan yang mewah-mewah, melainkan sejauh mana mereka dapat merealisasikan dalam bentuk prilakunya dalam bermasyarakat. Karena suatu ajaran Agama tidak hanya cukup untuk diresapi ataupun dihayati saja, melainkan harus dipraktekan dalam kehidupan nyata sehari-hari di dalam masyarakat.

 

2. CANANG GENTEN: Metaled antuk ceper, wyadin marupa kadi reringgitan, taledanne kasusunin antul plawa, porosan antuk sedah (sirih0, madaging apuh (kapur), lan jambe (pinang) mategul antuk talin porosan, susunin wadah lengis, sekar lan pandan arum. “Suksamannya panunggalan kayun suci jagi parek ring Hyang Widhi Brahma, Visnu, Iswara, punika saranane , jambe-apuh lan sirih” – Maknanya yaitu sebagai wujud penyatuan pikiran dan niat yang suci karena akan menghadap Hyang Widhi dalam prabhawa sebagai Brahma, Visnu, Iswara, inti persembahannya adalah pinang, kapur dan sirih.( Lontar Mpu Lutuk Alit)

 

3. CANANG LENGA WANGI: Campuran minyak kelapa ring adeng, miyik-miyikan minyak ireng, campurin malem lan menyan, minyak putih burat wangi, campurin kelapa ring akah cendana, menyan, majegahu, seranane minakadi menyan majegahu lan cendana mateges sang Tri Purusa.

 

4. CANANG NYAHNYAH GRINGSING: Dasar antuk ceper madaging jaja kakiping, pisang mas, nyahnyah gringsing (melakar antuk injin menyahnyah) mabungkus antuk tangkih do keraras, madaging porosan, wadah uras lan sekar.

 

5. CANANG GANTAL: Masaih ring Canang Genten, maweweh lekesan kekalih (2), matusuk antuk serat wyadin mategul antuk talin porosan, duwur porosanne madaging wadah uras lan sekar.

 

6. CANANG TUBUNGAN: Pateh sekadi Canang Genten, nanging porosanne antuk base tubungan (ijengan), muncuk lekesanne matampak dara mategul antuk talin porosan, duwur porosanne susunin wadah uras lan sekar.

 

7. CANANG PANGERESIKAN: Taled antuk ceper madaging tangkih 7 siki, suang-suang madaging sisig (beras menyahnyah ngantos puwun), kakosok kuning (tepung mecampur kunyit), kakosok putih (beras putih mecampur antuk tepung), tepung tawar/tepung beras sekar mesisir, madaging segahu, sesarik/minyak , kapas lan ambuh antuk don bungan pucuk/waru masisir. Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu Upacāra  keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya  dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.

 

8. CANANG PAYASAN: taled antuk tangkih bucu telu, masusun antuk jejahitan payasan, palawa, porosan, wadah uras lan sekar.

 

9. BANTEN DAPETAN (Untuk OTONAN)

 

Banten Dapetan dapat dibuat/ditata di atas sebuah tamas/taledan yang isinya; buah, pisang, kue, tumpeng putih 1 buah, lauk sedapatnya, penyeneng, sampyan jaet guak, canang sari (Lontar Mpu Lutuk, lp. 11a). Dapetan berasal dari akar kata “dapet” mendapatkan akhiran An, yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang didapatkan, ditemukan atau dihasilkan. Banten Dapetan sebagai lambang/nyasa dari Karma Wasana, semua yang kita alami, yang  kita temukan/dapatkan dan kita hasilkan dalam kehidupan ini, baik ataupun buruk, suka maupun duka, pintar ataupun bodoh, kaya maupun miskin, keberhasilan ataupun kegagalan semua itu tiada lain disebabkan oleh Karma wasana kita sendiri, yang harus kita terima pada kehidupan sekarang ini. Hendaknya kita dapat mensyukurinya, dengan mensyukuri dua dimensi kehidupan yang menimpa kehidupan kita, sebagai hasil dari perbuatan kita, kita tidak akan terbebani olehnya (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 78).

Untuk mendapatkan suatu Dapetan yang baik, hendaknya mulai sekaranglah kita mempersembahkan Dapetan (Karma wasana) yang baik, agar dalam kehidupan nanti kita dapat menikmati suatu kehidupan yang lebih baik. Kehidupan kita yang sekarang adalah merupakan refleksi dari kehidupan terdahulu, dan sebagai dasar dari kehidupan yang akan datang, karena kita yakin dan percaya dengan hukum Karmaphala. Sekecil apapun perbuatan yang pernah kita lakukan, pasti akan mendapatkan pahala yang setimpal, walaupun hanya dalam pikiran sekalipun. Untuk itu marilah kita berusaha untuk selalu dapat mempersembahkan Dapetan (aktivitas karma-karma yang baik, sehingga nantinya kita dapat menuai hasil yang penuh dengan kebajikan-kebajikan.

 

10. PERAS (untuk OTONAN)

 

Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:

  1. Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya beras, benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)
  2. Aled/kulit peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng;  merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar.
  3. Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.
  4. Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda).
  5. Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga)
  6. Kojong Ragkat, tempat lauk pauk;  memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani).
  7. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma.

 

11. AJUMAN /SODA

Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:

  1. Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
  2. Nasi penek adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.
  3. Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi  manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.

 

12. PENYENENG/ PEBUAT/TEHENAN : Yang membentuk Penyeneng:

 

  1. Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam Upacāra  yang diselenggarakan.
  2. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.
  3. Ruang 1, berisi Nasi aon adalah lambang dari Deva Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan  merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala).
  4. Ruang 2 berisi beras benang dan uang, lambang dari Deva Visnu yang memelihara alam semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi.
  5. Ruang 3 berisi bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras, melambangkan Deva Siva dalam prabhawaNya sebagai Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma. Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu = Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain).

 

13. SEGEHAN

 

            Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah  lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan.

Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.

            Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek). Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).

            Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai  kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.

 

14. SARANA YANG LAIN

 

Daun/Plawa; lambang kesejukan.

Bunga; lambang cetusan perasaan.

Bija; lambang benih-benih kesucian.

Air; lambang pawitra, amertha.

Api; lambang saksi dan pendetanya Yajña.

 

15. Penjelasan Bahan Banten Menurut Lontar  Tegesing Sarwa Banten;

 

  1. Mengenai rerasmen:  “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.
  2. Mengenai Lauk: “ Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
  3. Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
  4. Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
  5. Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.

 16. Banten Pejati

 

Banten pejati adalah nama Banten atau (upakāra), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar.  Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.  Adapun  unsur-unsur banten pejati, yaitu:

 

  1. Daksina

Unsur-unsur yang membentuk daksina:

Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya . Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.

Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina ; terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )

Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampat adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos.

Beras; lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini.

Porosan; terbuat dari daun sirih, kapur dan pinang diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah alambang pemujaan pada Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva).

Benang Tukelan; adalah simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.

Uang Kepeng; adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.

Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira.

Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya.

Gegantusan; yang terbuat dari kacan-kacangan dan bumbu-bumbuan, adalah lambang sad rasa  dan lambang kemakmuran.

Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian lambang Mahadeva, daun salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).

Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki.

Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan / perempuan.

Kelapa; simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering  sebagai lamanag Satya loka    Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pengikat indria.

Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)

Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.

Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria.

 

  1. Banten Peras (sudah dijelaskan di atas)
  2. Banten Ajuman/Soda (sudah dijelaskan di atas)
  3. Katipat Kelanan

Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:

Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.

Ketupat  Kelanan adalah lambang dari  Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

  1. Penyeneng/Tehenan/Pabuat (sudah dijelaskan di atas)
  2. Pesucian/Pangeresikan (sudah dijelaskan di atas)
  3. Segehan (sudah dijelaskan di atas)
  4. Siapa yang menerima Banten pejati ?

Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:

Peras kepada Sanghyang Isvara

Daksina kepada Sanghyang Brahma

Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu

Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

10. Jenis-jenis Daksina

Daksina kelipatan 1 : daksina alit

Daksina kelipatan 2: daksina pakala-kalaan (Manusa Yajna).

Daksina kelipatan 3: daksina krepa (Rsi Yajna).

Daksina kelipatan 4: daksina gede/pamogpog (upacara besar).

Daksina kelipatan 5: daksina galahan.

 

 

MANTRA  MENGHATURKAN BANTEN PEJATI

 

Mantra Memohon Tirtha:

 

  • Om pancaksaram maha tirtham pawitram papa nasanam papa koti sahasranam agadam bhawet sagaram
  • Om pancaksaram param brahma pawitram papa nasanam parantam parama jnanam siwa lokam pratam subham
  • Om namo siwa ityoyam para brahma atmane dewanam para sakti panca dewah panca rsih bhawet agni
  • Om A-karasca U-akarasca Ma-karo windhu nadhakam pancaksaram maya proktam Om-kara Agni mantranke ya namah swaha

 

Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman Tipat kelanan)

 

  • Om Siwa sutram yajna pawitram paramam pawitram, Prajapatir yogayusyam, balamastu teja paranam, guhyanam triganam trigunatmakam.
  • Om namaste bhagawan Agni, namaste bhagawan Harih, namaste bhagawan Isa, sarwa bhaksa utasanam, Tri warna bhagawan Agni Brahma Wisnu Maheswara, Saktikam pastikanca raksananca saiwa bhicarukam.

 

Mantra Panyeneng/Tehenan/Pabuat:

 

  • Om Kaki panyeneng Nini Panyeneng kajenengan denira Sanghyang Brahma wisnu Iswara Mahadewa Surya Chandra Lintang Teranggana. Om sri ya namah swaha.

 

Mantra Peras:

 

  • Om Panca wara bhawet Brahma, Wisnu sapta wara waca, sad wara Iswara dewasca, asta wara Siwa jnana Omkara muktyate sarwa peras prasidha siddhi rahayu ya namah swaha.

 

Mantra Pasucian:

 

  • Om asta sastra empu sarining wisesa tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel cuntakaning pebhaktyaning hulun, Om sanut sang kala pegat, pegat rampung sahananing wisesa, om sri dewi bhatrimsa yogini ya namah, Om gagana murcha ya namah swaha.

 

Mantra Segehan:

 

  • Om Atma Tattwatma sudha mam swaha Om swasti-swasti sarwa bhuta suka pradhana ya namah swaha. Om shantih shantih shantih Om.
  •  

Mantra Metabuh Arak Berem:

 

  • Om ebek segara ebek danu ebek banyu premananing hulun ya namah swaha.

 

 

Demikian kupasan upakāra, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam  membuat dan menghaturkan upakāra dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang.  Dan yang terpenting umat dapat menjadi sumber tauladan bagi keluarga dan anak-anaknya, dengan memberikan pelatihan secara konfrehensif sebagai bentuk kepedulian akan tradisi Veda yang penuh dengan Nyasa/simbol, serta dalam penerapan Sistem Pembelajaran Tuntas.  Dengan demikian akan terlahir umat yang memiliki kualifikasi kecerdasan IQ (kecerdasan intelek), EQ (kecerdasan emosional), SQ (kecerdasan spiritual), ETQ (kecerdasan etetika) sehingga eksisitensinya sebagai umat Hindu tidak akan memudar.

 

 

 

 

 

“ SEMOGA TIDAK JADI UMAT HINDU “JARKONI’’ (ISO NGUJAR TAPI ORA ISO NGELAKONI)

OM AVIGHNAM ASTU…!