TUNTUNAN SEMBAHYANG

  1. I. PENDAHULUAN

Dalam ajaran agama Hindu disebutkan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh kebahagiaan hidup lahir bathin (Moksartaham Jagadhita). Tujuan hidup ini diperoleh melalui usaha dan kerja keras yang dilandasi oleh Sraddha (keyakinan/keimanan) dan (ketakwaan/bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa).

Ada enam unsur Sraddha yang dapat memberikan keseimbangan hidup di dunia, yakni: pertama, Satya yang merupakan unsur kebenaran dan kejujuran menjadi sifat dan hakekat Tuhan; kedua, Rta merupakan hukum Tuhan yang Bersifat abadi; ketiga, Diksa sebagai alat untuk sampai pada tingkat kesucian diri; keempat, Tapa sebagai upaya mensucikan diri lahir bathin; kelima, Brahma merupakan sthava atau doa pujian untuk mendekatkan diri kepada Tuhan; keenam, Yajña yakni korban suci yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas.

Salah satu wujud pengamalan Sraddha dalam kehidupan sehari-hari adalah melalui pelaksanaan persembahyangan Panca Yajña.

  1. II. KETENTUAN UMUM PERSEMBAHYANGAN

1. Makna dan Tujuan Sembahyang

  1. Untuk menghormati dan mengagungkan kebesaran sifat Tuhan Yang Maha Esa, selaku pencipta dan penguasa alam semesta.
  2. Sebagai pengakuan diri bahwa pada hakikatnya manusia adalah mahluk yang sangat lemah.
  3. Sebagai permohonan maaf dan pengampunan atas segala dosa yang pernah dilakukan dalam hidupnya.
  4. Menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas segala waranugraha-Nya.
  5. Memohon perlindungan-Nya agar dijauhkan dari segala bahaya maupun cobaan hidup.
  6. Menemukan suasana kedamaian lahir dan bathin.

2. Tempat Sembahyang

Pura adalah merupakan tempat sembahyang atau pemujaan kepada Sanghyang Widhi Wasa beserta manifestasi kemahakuasaan-Nya. Menurut fungsinya Pura dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu Pura Kahyangan Umum (Kahyangan Jagat) dan Pura Kahyangan Khusus (Sanggar, Pamerajan, Paibon, Kawitan dan lain-lain).

  1. Pura Kahyangan Umum adalah tempat persembahyangan untuk seluruh umat Hindu. berdasarkan konsepsi/filosofisnya dibagi atas beberapa kelompok yakni:

1). Pura kahyangan Umum yang berdasarkan konsepsi Rwabhineda yakni : Pura Besakih sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai Pradhana.

2). Pura Kahyangan Umum yang berdasarkan konsepsi Catur Lokapala, merupakan konkritisasi dari Cadu Sakti atau empat kemahakuasaan Sanghyang Widhi Wasa, yakni :

a) Pura Lempuyang di Timur.

b) Pura Batukaru di Barat.

c) Pura Puncak Mangu di Utara.

d) Pura Andakasa di Selatan.

3). Pura Kahyangan Umum yang didasarkan konsepsi Sadwinayaka yang merupakan landasan pendirian Sad Kahyangan di Bali, yakni:

a) Pura Kahyangan Agung (Pura Besakih).

b) Pura Kahyangan Lempuyang Luhur.

c) Pura Kahyangan Gua Lawah.

d) Pura Kahyangan Uluwatu.

e) Pura Kahyangan Batukaru.

f) Pura Kahyangan Pusering Tasik (Pusering Jagat).

4). Pura Jagat Nata yang ada di berbagai daerah di Indonesia.

  1. Pura Kahyangan Khusus.

1) Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung atau dibina oleh warga desa adat, yakni:

a) Pura Desa, dibangun guna menyembah Sanghyang Widhi Wasa dalam Prabhawa/manifestasi-Nya sebagai Brahma, Maha Pencipta alam semesta beserta isinya.

b) Pura Puseh, di bangun guna menyembah Sanghyang Widhi Wasa dalam Prabhawa/manifestasi-Nya sebagai Wisnu, Maha Pemelihara alam semesta beserta isinya.

c) Pura Dalem, dibangun guna menyembah Sanghyang Widhi Wasa, dalam Prabhawa/manifestasi-Nya sebagai Siwa, Maha Kuasa melebur seluruh alam semesta beserta isinya.

2) Pura Swagina (Pura fungsional) yaitu Pura yang penyungsung atau pengemongnya terikat oleh ikatan swagina/swadayanya dalam sistem mata pencaharian, seperti: Pura Subak, Pura Melanting, dan sebagainya.

3) Pura Kawitan, yaitu tempat pemujaan atau persembahyangan bagi kelompok keluarga tertentu, misalnya Sanggar Pamrajan yang berada disetiap pekarangan rumah.

Jenis yang lebih besar dari Sanggar Pamrajan dinamakan Paibon, Dadia, Panti atau Padharman. Dalam perkembangannya terdapat beberapa hal yang dipakai sebagai landasan menbuat Sanggar pemujaan atau Pamrajan, yakni :

a) Bagi yang tidak memiliki rumah sendiri (menyewa), biasanya membuat Sanggar dari bahan kayu yang disebut Waton (plangkiran) ditempatkan dalam kamar disebelah Timur atau Utara.

b) Bagi yang baru membuat rumah sendiri, bila keadaan memungkinkan dapat mendirikan sebuah Sanggar Pamrajan.

3. Macam-macam Persembahyangan

  1. Menurut waktu pelaksanaan.

1) Nitya Kala, yaitu persebahyangan yang dilaksanakan 3 (tiga) kali sehari disebut Tri Sandhya, dilakukan tanpa memakai sarana yaitu :

a) Sembahyang pagi hari, pelaksanaannya antara jam. 04.30 – 06.00 disebut Pratah Savanam.

b) Sembahyang tengah hari antara jam. 12.00 – 13.30 disebut Madyadina Savanam.

c) Sembahyang sore hari antara jam. 18.00 – 19.30 disebut Sandhya Savanam.

2) Naimitika Kala, yaitu persembahyangan yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu, terutama hari-hari yang disucikan (dirayakan) dengan mempergunakan sarana dupa/api (Aghni), air (Toyam), buah-buahan (Phalam), bunga (Puspam) dan dedaunan (Patram), antara lain :

a) Persembahan Deva Yajna: Purnama, Tilem, hari-hari suci keagamaan (Galungan, Kuningan, Sarasvati, Pagervesi, Sivaratri dan Nyepi).

b) Persembahyangan pada hari-hari raya Nasional.

c) Persembahyangan khusus yang dilaksanakan oleh perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat dengan maksud menyampaikan niat tertentu.

  1. Menurut bentuk pelaksanaannya.

1) Persembahyangan bersama dengan dipandu puja Sulinggih.

2) Persembahyangan bersama tanpa dipandu puja Sulinggih.

3) Persembahyangan perorangan.

4. Persyaratan Sembahyang

  1. Persyaratan lahir (sakala, wahya) :

1) Bersihkan badan dengan mandi. Boleh juga mandi dengan air kumkuman.

2) Berpakaian yang bersih dah sopan.

3) Sarana persembahyangan yang dipakai supaya baik, misalnya : Bunga yang harum dan segar, dupa yang harum serta kwangen.

4) Tempat persembahyangan yang bersih dan bersuasana tenang.

  1. Persyaratan bathin (niskala, adyatmika) :

1) Rasa tulus ihklas dalam melaksanakan sembahyang.

2) Kesadaran bathin yang luhur dan suci sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci dalam pikiran, suci dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan.

3) Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah dan utuh.

4) Kesadaran melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma, kesucian dan kesejahtraan mahluk serta alam semesta.

5) Meyakini ajaran Tat Tvam Asi yakni memandang semua mahluk mempunyai hakikat yang sama.

5. Sikap Sembahyang

  1. Sikap tangan.

1) Sikap tangan pada waktu Puja Trisandhya dengan sikap Amusti Karana, yaitu: kedua ibu jari tangan kanan dan kiri dipertemukan/ditempelkan sedangkan jari-jari tangan yang lain saliang bertumpukan sejajar dengan hulu hati.

2) Sikap tangan pada waktu melaksanakan kramaning sembah. Sikap tangan pada waktu melaksanakan persembahyangan/kramaning sembah yaitu kedua belah telapak tangan dicakupkan dan diangkat keatas ubun-ubun.

  1. Sikap badan pada waktu sedang sembahyang.

Bila memuja dalam sebuah Pura, Sanggar Pamrajan dan sebagainya dilakukan dengan cara duduk. Bagi kaum pria dengan sikap Padmasana (Silasana) sedangkan sedangkan bagi kaum wanita dengan sikap Bajrasana (bersimpuh). Ada lagi sikap-sikap yang lain misalnya bagi yang sakit mengambil sikap Sawasana. Selanjutnya apabila kondisitempat tidak memungkinkan untuk duduk maka dapat dilaksanakan dengan mengambil sikap Padasana (berdiri).

6. Hubungan Sembahyang Dengan Yajna

Bertitik tolak dari pengertian sembahyang yang merupakan pemujian kepada Sanghiang Widhi Wasa, dengan segala Prabhawa/manifestasi kemahakuasaan – Nya, yang dilaksanakan penuh ketululusan hati ,maka yajna pun memiliki pengertian yang sama dengan sembahyang. Dengan demikian antara Sembahyang dan Yajna memiliki hubungan yang erat dimana kedua – duanya bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera lahir batin (Moksartham Jagadhita).

Veda mengajarkan 5 (lima) macam Yajna, yang disebut Panca Yajna, yaitu:

  1. Deva Yajna adalah korban suci/persembahan suci sebagai perwujudan rasa terima kasih yang disampaikan kepada Sanghiang Widi Wasa dan para Dewa penjaga kosmos dan hukum kehidupan yang diciptakannya dengan tujuan tercapaenya ketentraman dan kesejahteraan lahir batin .
  2. Rsi Yajna adalah korban suci/persembahan suci sebagai perwujudan rasa terima kasih kepada para Maharesi penerima Wahyu, kepada para Brahmana, Guru yang telah mengajarkan dan mengembangkan ajaran agama. RsiYajna dapat pula diwujudkan dalam bentuk penyucian diri secara spiritual melalui upacara Pewintenan/Diksa (Inisiasi/ pentahbisan).
  3. Pitra Yajna adalah korban suci kepada para Leluhur dengan tujuan:

1) Mengembalikan jasadnya kepada lima unsur alam ini yaitu tanah (prtiwi), sinar (teja), udara (bayu), air (apah), dan ether (akasa) melalui upacara “Sawa Wedana”.

2) Menyucikan roh agar kembali ke asalnya melalui upacara “Atma Wedana”.

  1. Manusa Yajna adalah korban suci atau upacara untuk manusia guna meningkatkan kehidupan spiritualnya. Upacara ini dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai dewasa dan menjelang mati.
  2. Bhuta Yajna, adalah korban suci kepada para Bhuta (mahluk yang lebih rendah dari manusia) agar siklus alam semesta ini tetap harmonis dan ekosistem tetap berjalan dengan semestinya. Korban suci pada upacara Buta Yajna disampaikan dalam bentuk upakara korban yang disebut “Caru”, mulai dari tingkat yang terkecil sampai tingkat yang lebih besar sesuai kepentingannya.

7. Pemimpin Dalam Persembahyangan

  1. Pandita/Sulinggih. Berdasarkan Keputusan Maha Sabha Parisada ke II tanggal 2 s.d 5 Desember 1968, ditetapkan bahwa mereka yang telah melaksanakan upacara Diksa/ditapak oleh Nabenya dengan Bhiseka Pandita (Pedanda, Bhujanga, Rsi, Bhagawan, Empu dan Dukuh) berkewajiban menyelesaikan upacara/upakara Panca Yajna (Loka Palasraya).
  2. Pinandita. Bagi mereka yang telah melaksanakan upacara “Pawintenan” sampai dengan “Adhiksa Widhi” dengan tidak ditapak dan “Amari aran”, yaitu: Pemangku, Mangku Dalang, Wasi, Mangku Balian, dan Dharma Acarya berwenang menyelesaikan upacara/upakara yang telah ditentukan sesuai Kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu.

8. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan.

Guna menjaga dan memelihara kesucian Pura, para umat hendaknya selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang larangan masuk Pura/tempat suci.

  1. Bagi wanita dalam keadaan menstruasi, habis melahirkan atau aborsi.
  2. Dalam keadaan berhalangan karena cuntaka antara lain:

1) Kematian: Keluarga terdekat sampai dengan mindon, serta orang-orang yang ikut mengantar jenazah, demikian pula alat-alat yang dipergunakan untuk keperluan itu.

2) Sakit kelamin (Siphilis).

3) Kusta (yang menular).

4) Gila.

5) Gamiya Gamana (kawin/bersanggama dengan ibu, saudara, anak).

6) Salah timpal (kawin dengan binatang).

  1. Menodai kesucian Pura/tempat suci (berpakaian tidak sopan, bercumbu, berkelahi, buang hajat besar/kecil dan mencoreng – coreng bangunan/tempat suci).

III. PERSIAPAN SEMBAHYANG

Doa Kramaning Sembah

  1. Persiapan Sembahyang

Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan. Termasuk dalam persiapan lahir ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaianyang bersih dan rapi, bunga dan dupa, sedangkan persiapan bathin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana prasarana sembahyang adalah sebagai berikut:

1) Asuci Laksana.

Pertama – tama orang membersihkan badan dengan mandi. Kebersihan badan dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati.

2) Pakaian.

Pakaian waktu sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat dan warna yang mencolok hendaknya dihindari.

Pakaian harus disesuaikan dengan dresta (kebiasaan) setempat, supaya tidak menarik perhatian orang.

3) Bunga atau Kwangen.

Bunga atau Kwangen adalah lambang kesucian, supaya diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada Kwangen dapat diganti dengan bunga. Ada beberapa bunga yang tidak baik untuk sembahyang. Menurut Agastyaparwa, bunga tersebut adalah:

Bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa digoncang, bunga-bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan.

4) Dupa.

Apinya dupa adalah simbol Sanghyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sanghyang Widhi, setiap Yajna dan pemujaan tidak luput dari penggunaan api. Hendaknya ditaruh sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan teman-teman di sebelah.

5) Tempat duduk.

Tempat duduk hendaknya diusahakan tidak mengganggu ketenangan untuk sembahyang. Arah duduk ialah menghadap Pelinggih. Jika mungkin agar menggunakan alas duduk seperti tikar dan sebagainya.

6) Sikap duduk.

Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan hati. Sikap duduk yang baik untuk pria ialah sikap duduk bersila (Padmasana, Silasana, Sidhasana) dan badan tegak lurus. Sikap duduk bagi wanita ialah sikap Bajrasana yaitu sikap duduk bersimpuh dengan dua tumit kaki diduduki. Dengan sikap ini badan menjadi tegak lurus, sikap ini sangat baik untuk menenangkan pikiran.

7) Sikap tangan.

Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah “Cakuping kara kalih” yaitu kedua telapak tangan dikatupkan dan diletakkan diatas di depan ubun-ubun. Bunga atau kwangen dijepit pada ujung jari tengah.

IV. PELAKSANAAN SEMBAHYANG

  1. 1. Doa Tri Sandhya
    1. Duduk (Padmasana, Sidhasana, Silasana, Vajrasana)

OM PRASADA STHITI SARIRA

SIVA SUCI NIRMALA YA NAMAH SVAHA

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Suci, pemelihara kehidupan, hamba puja Dikau dengan sikap yang tenang.

  1. Pranayama :

1) Puraka (Menarik nafas)

OM ANG NAMAH

2) Kumbaka (Menahan nafas)

OM UNG NAMAH

3) Recaka (Mengeluarkan nafas)

OM MANG NAMAH

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur alam semesta hamba puja Dikau.

  1. Kara Sodhana (Sarira Suddha)

OM SODDHA MAM SVAHA

OM ATI SODDHA MAM SVAHA

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, sucikanlah hamba dari segala dosa.

  1. Puja Tri Sandhya :

1) OM OM OM BHUR BHUVAH SVAH,

TAT SAVITUR VARENYAM,

BHARGO DEVASYA DHIMAHI

DHIYO YO NAH PRACODAYAT

2) OM NARAYANA EVEDAM SARVAM,

YAD BHUTAM YASCA BHAVYAM,

NISKALANGKO NIRANJANO NIRVIKALPO,

NIRAKHYATAH SUDHO DEVA EKO,

NARAYANO NA DVITYO’STI KASCIT

3) OM TVAM SIVAH TVAM MAHADEVAH,

ISVARAH PARAMESVARAH,

BRAHMA VISNUSCA RUDRASCA,

PURUSAH PARIKIRTITAH

4) OM PAPO’HAM PAPA KARMAHAM,

PAPATMA PAPA SAMBAVAH,

TRAHI MAM PUNDARIKAKSAH,

SABAHYABHYANTARAH SUCIH

5) OM KAMASVA MAM MAHADEVA,

SARVAPRANI HITANGKARA,

MAM MOCA SARVA PAPEBHYAH,

PALAYASVA SADA SIVAH

6) OM KSANTAVYAH KAYIKO DOSAH,

KSANTAVYO VACIKA MAMA,

KSANTAVYO MANASO DOSAH,

TAT PRAMADAT KSAMASVA MAM,

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM

Artinya:

1) Om Sanghyang Widhi Wasa yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau Maha Suci, sumber segala cahaya dan kehidupan, berikanlah budi nurani kami penerangan sinar cahaya-Mu Yang Maha Suci.

2) Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semua makhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, abadi dan tak ternyatakan. Engkau Maha Suci dan tiadalah Tuhan yang kedua.

3) Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma, Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yang ada.

4) Om Sanghyang Widhi Wasa, hamba-Mu penuh kenestapaan, nestapa dalam perbuatan, jiwa, kelahiran. Karena itu oh Hyang Widhi, selamatkanlah hamba dari kenestapaan ini, dan sucikanlah lahir bathin hamba.

5) Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Utama, ampunilah hamba-Mu, semua makhluk Engkau jadikan sejahtera, dan Engkau bebaskan hamba-Mu dari segala kenestapaan atas tuntunan suci-Mu oh Penguasa kehidupan.

6) Om Sanghyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa dari perbuatan, ucapan, dan pikiran hamba, semoga segala kelalaian hamba itu Engkau ampuni. Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.

  1. 2. Kramaning sembah

Urutan-urutan Sembah

Urutan – urutan sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama adalah seperti di bawah ini, dengan catatan apabila dipimpin oleh Sulinggih atau Pinandita maka umat melafalkan mantram/doa di dalam hati.

1) Sembah tanpa bunga (Muyung)

Mantram:

OM ATMA TATTVATMA SODDHA MAM SVAHA

Artinya:

Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.

2) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.

Mantram:

OM ADITYASYAPARAM JYOTI (H)

RAKTA TEJO NAMO’STUTE

SVETAPANGKAJA MADHYASTHAH

BHASKARAYO NAMO’STUTE

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.

3) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.

Mantram:

OM NAMO DEVAYA, ADHISTHANAYA, SARVA VYAPI VAI SIVAYA, PADMASANA EKAPRATISTHAYA, ARDHANARESVARYAI NAMO NAMAH SVAHA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.

4) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.

Mantram:

OM NUGRAHAKA MANOHARA,

DEVA DATTANUGRAHAKA,

ARCANAM SARVA PUJANAM,

NAMAH SARVANUGRAHAKA,

OM DEVA DEVI MAHASIDDHI,

YAJNANGGA NIRMALATMAKA,

LAKSMI SIDDHISCA DIRGHAYUH

NIRVIGHNA SUKHA VRDDHISCA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.

5) Sembah tanpa bunga (Muyung).

Mantram:

OM DEVA SUKSMA PARAMACINTYAYA NAMAH SVAHA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib.

Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.

6) Metirtha.

Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:

OM PRATAMA SUDHA, DVITYA SUDHA, TRITYA SUDHA, CATURTI SUDHA, PANCAMI SUDHA, SUDHA, SUDHA, SUDHA VARIASTU NAMAH SVAHA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormat kepada-Mu.

Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:

  1. Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:

OM ANG BRAHMA AMRTHA YA NAMAH

OM UNG WISNU AMRTHA YA NAMAH

OM MANG ISVARA AMRTHA YA NAMAH

Artinya:

Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Mu semoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).

  1. Minum Tirtha tiga kali:

OM SARIRA PARIPURNA YA NAMAH,

OM ANG UNG MANG SARIRA SUDHA,

PRAMANTYA YA NAMAH,

OM UNG KSAMA SAMPURANYA NAMAH.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur segala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih, terang dan sempurna.

  1. Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:

OM SIVA AMERTHA YA NAMAH,

OM SADHA SIVA AMERTHA YA NAMAH,

OM PARAMA SIVA AMERTHA YA NAMAH.

Artinya:

Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semoga memeberi amrtha pada hamba.

7) Memasang bija:

  1. Bija untuk di dahi:

OM SRIYAM BHAVANTU

(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba).

  1. Bija untuk di bawah tenggorokan:

OM SUKHAM BHAVANTU

(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).

  1. Bija untuk ditelan:

OM PURNAM BHAVANTU

OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SVAHA.

(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).

8) Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:

OM SANTIH, SANTIH, SANTI OM.

Artinya :

Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai dihati, damai didunia dan damai selalu.

  1. V. PENUTUP

Keseluruhan isi doa dalam Tuntunan Sembahyang ini akan bermakna dan mempunyai kekuatan spiritual (bertuah) apabila diyakini sebagai kebenaran, serta dilafalkan dengan rasa bhakti atau kepasrahan, karena sesungguhnya Sanghyang Widhi Wasa Yang Maha Kuasa menakdirkan segala kejadian. Semoga kita senantiasa dituntun ke jalan yang benar dan dianugerahi keselamatan.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

* Dikutip dari: Ketetapan Mahasabha VI Parisada Hindu Dharma Indonesia, Nomor : I/TAP/M.SABHA/1991 Tentang Tata Keagamaan

Jakarta, Februari 2007

I Wayan Sudarma, S.Ag