I. Pendahuluan

Pada dasarnya kehidupan manusia sekarang ini sangat dipengaruhi oleh watak (bakat) dari kehidupan pribadi pada masa yang lalu (karma vasana), namun seiring perkembangan usia dan pola pergaulan di tengah masyarakat serta tingkat pendidikan yang diperolehnya telah menyebabkan lahirnya manusia yang memiliki kualitas yang berbeda. Maka jika kita renungkan dan meneliti sejenak kehidupan manusia di sekitar kita, kita akan dapat menemukan orang per orang yang aktivitas kerjanya berbeda-beda. Ada yang tekun menjadi petani dengan cara mengolah sawah dan ladang untuk ditanami berbagai macam tanaman yang pada waktunya nanti dapat dipanen sebagai bahan pangan dan selebihnya dapat dijual untuk ditukar dengan kebutuhan yang lain. Ada pula yang giat dan ahli memutar roda perekonomian dengan jalan perdagangan dan mengatur managemen kerja yang baik, sehingga dapat menjadi pengusaha yang sukses. Disamping itu ada juga yang memiliki bakat menjadi seorang pemimpin pemerintahan dan kemiliteran (keprajuritan) sebagai benteng negara dan bangsa. Namun demikian, dari sekian banyak aktivitas tersebut ada pula yang menekuni bidang agama, kerohanian (spiritual). Varnāsrama tersebut bersumber dari Veda, sehingga semua bentuk sadhana (disiplin hidup) semestinya disesuaikan dengan guna, dharma dan karma masing-masing.

Dan sesungguhnya semua profesi tersebut di atas tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, semua terikat dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya, ibarat anggota badan kita ini; organ yang satu bergantung kepada organ yang lain. Betapapun cemerlangnya pikiran yang ada dalam otak bila tidak ada tangan, perut, dan kaki maka hidup ini tiadalah berarti apa apa.

Apapun dharma kita pada kehidupan ini sesunggunya adalah untuk melayani agar dapat menuju kepada Sang Asal (Brahman). Demikian pula dharma sebagai rohaniawan Hindu seperti: Pinandita, Pemangku, Wasi, Dukun (eka jati), adalah merupakan profesi pelayanan dan pengabdian (Senvanam dan Dasyanam) yang utama kepada Braman.

II. Pengertian Diksa

Mengingat perkembangan agama Hindu di indonesia dewasa ini semakin pesat dan kompleks, serta banyaknya hal yang perlu mendapat penanganan dari pemuka agama/rohaniawan, sebagai tenaga-tenaga ahli yang membidangi baik itu menyangkut upacara maupun upakaranya. Bila hal ini bisa dipenuhi maka jelas tidak akan terjadi kesimpang siuran didalam memberikan tuntunan kehidupan spiritual umat, terutama dalam pelaksanaan upacara keagamaan.

Didalam memenuhi permasalahan yang kompleks ini, diperlukan penobatan rohaniawan/pandita dan pinandita. Dalam agama Hindu disebutkan bahwa untuk mencapai tingkat atau status pandita/pinandita, seseorang harus menempuh upacara ritual yang sangat formal. Upacara ritual ini disebut ”DIKSA”. Tanpa upacara Diksa, seseorang betapapun pandainya belum dapat disebut pandita/pinandita. Dasar hukumnya dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda, yakni dalam Atharvaveda XI.I.I. yang menyebutkan :

”Satyam Brhad Rtam Ugram Diksa Tapo Brahman Yajña Prithiwim Darayanti”.

Artinya :

Sesungguhnya satya Rta Diksa Tapa Brahman dan Yajña, yang menyangga dunia ini. (Dana1996:2)

Mantra ini menjelaskan mengenai dasar-dasar keyakinan agama Hindu yang harus dipegang dan dikembangkan sebaik-baiknya, salah satu diantaranya adalah Diksa.

Kata Diksa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya suatu upacara penerimaan menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini munculah kata diksita yang artinya diterima menjadi murid dalam kesucian. Dalam perkembangannya lebih lanjut, kata diksa berarti askara yaitu suatu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkatan dwijati. Kata dwijati berasal dari akar kata ”ja” yang artinya lahir. Dwijati artinya lahir kedua kalinya. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua dari dang guru suci atau nabe. Dalam kitab Siwa Sasana disebutkan bahwa ”sejak seseorang mendapat diksa atau upacara penyucian, mereka dikenal sebagai Dwijati dan dari padanya diharapkan mulai mematuhi segala peraturan kebrahmanaan”. Rohaniawan/pandita dan pinandita yang melalui proses tata upacara diksa inilah yang mempunyai wewenang luas dan lengkap dalam pelaksanaan ”Loka Pala Sraya” itu yakni wewenang didalam memimpin atau menyelesaikan berbagai yajña termasuk dalam memberikan Air Suci (Tirtha).

Landasan sastra yang termuat dalam beberapa pustaka rontal yang sementara ini diketemukan di Bali. Rontar-rontal itu digunakan sebagai acuan sehingga pengungkapannya mempunyai suatu landasan yang dapat dijadikan pegangan. Mungkin masih banyak pustaka rontal lainnya yang memuat tentang upacara mediksa dan atau menggunakan kawikon, namun kesulitan mengumpulkannya sangat terasa, mengingat rontal-rontal tersebut tersebar luas dan bahkan tidak jarang menjadi koleksi-koleksi perorangan disamping adanya koleksi resmi seperti pada gedong kirtya di Singaraja (sekarang menjadi museum cabang pusat Dokumentasi Bali di Denpasar), Musium Bali di Denpasar, Fakultas Sastra Universitas Udayana, institut Hindu Dharma (Universitas Hindu Indonesia UNHI) dan lain sebagainya.

Adapun beberapa pustaka rontal yang memuat tentang upacara diksa dan kawikon antara lain adalah: Krama Mediksa, Kramananing Dadi Wiku, Silakrama, Siwa Sasana, Wertisasana, Widhipapincatan, dan lain sebagainya. Selain itu juga menggunakan acuan ketetapan Maha Shaba Parisada Hindu Dharma Indonesia II Tahun 1968 dan keputusan seminar kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang ke 14 Tahun 1986/1987 tanggal 11 s/d 12 Maret 1987 tentang Pedoman pelaksanaan Diksa.

Upacara mediksa mempunyai tujuan mulia yaitu meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan menjadi manusia. Mediksa merupakan klimaks dalam meningkatkan kesucian diri dari tingkatan Ekajati ke tingkatan Dwijati. Mencapai suatu kesucian diri adalah merupakan suatu kewajiban bagi umat Hindu, karena lewat kesucian diri itulah manusia dapat berhubungan dengan sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Untuk dapat menjaga kesucian dirinya, seseorang yang telah melaksanakan upacara mediksa, berkewajiban agar setiap hari menyucikan diri dengan melakukan puja Parikrama atau Surya Sewana. Mengenai waktunya adalah: pagi, siang, dan sore hari. Maka dari itulah sang diksita atau wiku tidak kena cuntaka dan juga tidak nyuntakain (kecuali wiku wanita yang sedang dalam keadaan Haid ).

Demikian masalah kesucian itu yang menjadi tujuan mediksa, yang mempunyai arti penting dalam ajaran agama Hindu dalam ajaran agama Hindu dan menjadi orientasi dan arahan bagi umat Hindu dalam menempuh kehidupan sekala dan niskala.

III. Pengertian Pinandita

Dalam agama Hindu, ada penyebutan istilah tentang pandita dan pinandita. Kata pandita berasal dari akar kata ”pand”, yang artinya mengetahui. Penyebutan istilah pandita ini, diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan suci Veda serta memiliki sifat yang arif dan bijaksana. Dan untuk mendapatkan tingkat atau status pandita ini, seseorang harus pula melakukan upacara penobatan yang disebut ”Diksa”. Dari kata pandita inilah kemudian timbul sebutan untuk pendeta.

Sedangkan kata pinandita, dasar katanya adalah pandita mendapat sisipan ”in”, yang artinya Di. Jadi pengertian pinandita disini ialah seseorang yang dianggap sebagai wakil pandita. Guna mencapai tingkatan atau status pinandita ini pun melalui upacara/upakara diksa yang dikenal dengan sebutan ”pawintenan”. Di dalam beberapa lontar dan juga keputusan dari jawatan agama Propinsi Bali No. 85/Dh.B/SK/U-15/1970 tanggal 20 April 1970 serta keputusan seminar aspek-aspek Agama Hindu d iAmlapura Bali menyebutkan bahwa ada beberapa tingkatan pewintenan, antara lain :

  1. Pewintenan Saraswati (Mulai Mempelajari Agama)
  2. Pewintenan Bunga (Pewintenan setelah berumah tangga)
  3. Pewintenan Sari (Mulai mempelajari kitab Suci Veda atau cakepan Lontar)
  4. Pewintenan Gede (Menjadi pemangku atau Jro Mangku yang lazim disebut Pinandita).

Untuk mengetahui arti dan makna pewintenan atau mawinten dalam konteks hubungan dengan kesucian diri, maka upacara ini dapat kita bedakan menjadi: pawintenan yang berkaitan dengan Manusa Yajña dan pawintenan yang berkaitan dengan Rsi Yajña. Pawintenan yang berkaitan dengan Manusa Yajña adalah Pawintenan Saraswati an Pawintenan Bunga, sedangkan yang berkaitan dengan Rsi Yajña adalah Pawintenan Sari dan Pawintenan Gede atau Pinandita.

Sedangkan kata pawintenan itu sendiri berasal dari kata winten, yang dapat diartikan dengan inten (berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten mengandung arti melaksanakan suatu upacara untuk mendapatkan sinar (cahaya) terang dari Sang Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui, serta menghayati ajaran pustaka suci Veda tanpa aral melintang. Makna dari pawintenan di sini tidak lain mohon waranugraha Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Sanghyang Guru, yang memberi tuntunan, Sanghyang Gana memberikan perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan Sanghyang Saraswati sebagai pemberi anugerah ilmu pengetahuan suci Veda. D idalam kelengkapan upacara/upakaranya pawintenan Gede atau pawintenan Pinandita ini lebih lengkap rerajahan atau tulisan-tulisan aksara sucinya, dibandingkan dengan pawintenan Saraswati, Bunga, dan Sari.

Adapun yang termasuk dalam tingkatan atau status pinandita antara lain :

  1. Pemangku.
  2. Wasi.
  3. Mangku Balian/Dukun
  4. Mangku Dalang
  5. Dharma Acarya.
  6. Pangemban/Pendidik tentang kerohanian.

Sedangkan penggolongan Pemangku/Pinandita menurut swadharmanya dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Pemangku pura Kahyangan Jagat, Sad kahyangan, Kahyangan Tiga.
  2. Pemangku Pamongmong (pembantu di bidang protokoler)
  3. Pemangku Jan Banggul (pembantu di bidang pelayanan ketika ada upacara di pura)
  4. Pemangku Cungkub (di Merajan Gede yang jumlah pelinggihnya di atas 10 buah)
  5. Pemangku Nilartha (di pura Kawitan0
  6. Pemangku Pinandita (pemangku pembantu pandita yang berwenang ngeloka phala sraya dalam batas-batas tertentu atas tuntunan dan penugrahan pandita0
  7. Pemangku Bujangga (di Pura Paibon)
  8. Pemangku Balian (mengobati orang sakit)
  9. Pemangku Dalang (sebagai dalang yang mampu Nyapuh Leger)
  10. Pemangku Lancuban (yang bisa kerawuhan/kodal untuk metuwun)
  11. Pemangku Tukang ( yang paham ajaran Wiswakarma: Undagi, Sangging, tukang wadah, tukang banten, dll)
  12. Pemangku Kortenu ( yang bertugas di Prajapati/Ulun Setra)

IV. Sasana Pinandita

Kehidupan sebagai pinandita memiliki ciri khusus yang mengikat, disebut dengan sasana yang menjadi kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Adapun yang dimaksud dengan sasana yang menjadi kode etik pinandita adalah segala aturan-aturan atau tata tertib yang berhubungan dengan ”Kawikon” (aturan-aturan kehidupan yang patut dilaksanakan oleh seorang pinandita).

Dalam Agama Hindu sasana atau kode etik yang mengikat ini mendapat tempat yang paling utama, karena didalamnya terermin nilai-nilai etika keagamaan, yang selalu dipatuhi. Bagi mereka yang mendalami hidup sebagai pinandita, harus menghayati seluruh aturan-aturan yang mengikat, baik itu melalui sikap prilaku, maupun kemampuan sikap spiritualitas yang dimiliki sebagai Pinandita. Dengan mengetahui sasana atau kode etik ini, seorang pinandita akan menghindari pelanggaran terhadap sasana atau aturan-aturan kepinanditaan.

Dalam kitab Silakrama ditekankan bahwa para pandita/pinandita hendaknya dapat menguasai dan melaksanakan ajaran Panca Yama dan Niyama Brata.

  1. Panca Yama Brata

Jenjang pertama bagi Astangga Yoga adalah Yama. Yama artinya pengendalian diri tahap pertama. Yama ini terdiri dari lima bagian, sehingga disebut Panca Yama, yakni terdiri dari :

  1. 1. Ahimsa

Ahimsa artinya tidak membunuh atau tidak menyakiti, ini menunjukan bahwa seseorang yang baru memasuki kehidupan rohani, hendaknya bebas dari segala perbuatan yang menyakiti sesama mahluk. Ahimsa ini merupakan ajaran pengendalian yang sangat mendasar sifatnya. Maksudnya bahwa, jika seseorang belum mampu mengendalikan dirinya dalam hal menyakiti dan membunuh, maka sulitlah baginya akan bisa naik ke jenjang yang lebih tinggi. Ahimsa pada prinsipnya bertujuan untuk memanusiakan manusia. Artinya seseorang hendaknya dapat menumbuhkan atau menyuburkan sifat-sifat yang dianggap sebagai sifat-sifat di luar kemanusiaan karena tidak menyakiti adalh kebenaran yang tertinggi (Ahimsaya paro dharma). Melalui ajaran Ahimsa ini kita dapat menumbuhkan atau menyuburkan sifat-sifat lemah lembut, cinta kasih, persaudaraan, dan lain sebagainya yang sesungguhnya sifat asli dari manusia. Lawan dari Ahimsa adalah Himsa Karma yaitu perbuatan atau membunuh dan menyakiti sesama mahluk yang merupakan perbuatan dosa.

  1. 2. Brahmacari

Bagi seseorang yang hendak mengabdikan dirinya dalam hidup kebenaran dan kesucian diri, suci pikiran, kata-kata dan perbuatan, maka ia harus hidup sebagai seorang Brahmacari. Demikian yang disebutkan dalam ajaran yoga. Hal ini ditujukan kepada rohaniawan (pandita/pinandita), yang dengan sepenuhnya mengikhlaskan hidupnya dengan mengabdi kepada Tuhan. Di dalam melaksanakan ajaran yoga ini, seseorang memerlukan tenaga yang tersimpan dalam dirinya sendiri. Ada dua aspek kekuatan yang tersimpan dalam tenaga yakni aspek yang tidak halus dan yang halus. Aspek yang tidak halus adalah tenaga asmara yang selalu menampakan dirinya melalui indrya, sedangkan aspek yang halus adalah tenaga yang halus yang cenderung mengantarkan manusia pada kesadaran. Seorang pandita/pinandita dapat mengubah tenaga asmara menjadi ”Ojas Sakti”, tenaga yang bercahaya terang yang mengantarkannya ke dalam samadhi yang dalam. Ini merupakan pengendalian diri yang luar biasa, di luar alam manusia biasa.

  1. 3. Sathya

Sathya artinya kebenaran dan kejujuran. Kejujuran adalah sifat yang selalu dituntut oleh orang yang berbudhi baik, karena sifat ini akan membawa manusia pada ketenangan. Bila seseorang hendak mewujudkan sifat-sifat kedewataan dalam dirinya, maka Sathya mutlak harus dilaksanakan dengan sungguh, karena sesungguhnya Tuhan adalah kebenaran, maka ia akan dijumpai melalui kebenaran itu pula. Jika diamati dengan seksama, maka hati manusia pada dasarnya adalah senantiasa benar dan jujur, sehingga ia mencintai kebenaran dan kejujuran itu sendiri. Akan tetapi akibat pengaruh rajas dan tamas dalamTri Guna dan juga pengaruh indrya, maka hati nurani yang dasarnya suci, benar dan jujur menjadi tenggelam dalam ketidakbenaran dan ketidakjujuran sehingga menjadi kotor. Jika seseorang dapat mengikuti dan mematuhi hati nuraninya dalam bertindak maka benar dan jujurlah segala perbuatannya. Untuk itu diperlukan adanya keberanian dan jiwa besar yaitu keberanian dalam memegang teguh nilai kebenaran itu sendiri. Kebenaran tertinggi adalah Tuhan, maka untuk mencapainya haruslah dengan kebenaran pula.

  1. 4. Awyawaharika.

Awyawaharika atau Awyawahara berarti tidak berselisih, tidak berjual beli dan tidak berbuat dosa karena kepintaran. Orang patut menghindari diri dari perselisihan atau pertengkaran karena dapat mengotori pikiran dan mengganggu ketenangan jiwa. Awyawaharika juga berarti tidak berjual beli. Hal ini ditujukan terutama kepada pandita/pinandita. Oleh karena dalam berjual beli berlaku prinsip-prinsip ekonomi yang kadang kala tidak cocok dengan prinsip hidup kerohanian. Awyawaharika arti lainnya juga adalah tidak berbuat dosa karena kepintaran. Kepintaran yang digunakan untuk tujuan-tujuan rendah, seperti memeras yang lemah, memperdaya orang yang bodoh adalah dosa. Jadi awyawaharika atau awyawahara adalah untuk mengantarkan seseorang tidak saling bermusuhan, tidak suka menipu, dan tidak berbuat dosa, agar selalu memperoleh kesucian dan kebenaran.

  1. 5. Astainya

Astainya atau Asteya artinya tidak mencuri. Mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan. Perbuatan ini adalah perbuatan mementingkan diri sendiri tanpa memandang betapa sakit dan sengsaranya hati orang yang miliknya diambil oleh orang lain. Maka dari itu, orang harus dapat mengendalikan diri dari keinginan yang berlebihan akan sesuatu, karena keinginan demikianlah yang mendorong seseorang untuk mencuri. Dengan demikian kenikmatan indrya harus selalu berlaku atas pengawasan pikiran yang jernih, sehingga kenikmatan itu tidak didapat atas dasar mencuri atau perbuatan semacam itu. Mencuri tidak akan mengantar orang dalam ketenangan hidup sehingga kesucian menjauh daripadanya.

  1. Panca Niyama Brata.

Niyama adalah ajaran pengendalian diri tahap kedua. Seperti halnya Yama, Niyama inipun juga terdiri dari lima bagian karena itu disebut Panca Niyama Brata. Rinciannya adalah sebagai berikut :

  1. 1. Akrodha

Akroda artinya tidak suka marah. Kebanyakan orang pasti pernah marah, bahkan sering marah. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan orang marak. Hal-hal itu antara lain : karena merasa harga dirinya diinjak-injak, dihina, karena tersinggung, karena dimarahi, karena difitnah, ditipu, dibohongi, merasa diperlakukan tidak adil, dan lain sebagainya. Dapat pula orang marah karena keinginan yang tidak dipenuhi. Dalam hal ini orang sering menginginkan agar orang lain mau seperti yang ia inginkan. Jika tidak maka marahlah ia, dengan tidak menyadari bahwa orang lain bukanlah dirinya. Selain itu dapat pula orang marah karena penyakit tertentu. Yang jelas, apapun alasannya marah itu tetap tidak baik. Orang yang suka marah-marah, bukanlah orang yang gagah dan kuat, tapi sebaliknya ia sungguh-sungguh bodoh dan lemah. Karena orang yang demikian halnya berarti belum mampu menundukkan musuh dalam dirinya. Krodha lawan dari akrodha itu adalah salah satu musuh dalam diri manusia yang patut selalu diwaspadai dan ditaklukan. Kemarahan sering juga disusul dengan kebencian dan dendam. Patut diingat bahwa kebencian dan dendam itu adalah racun bathin yang sangat berbahaya dan dapat menghancurkan kehidupan spiritual seseorang. Kebencian tidak akan pernah ada akhirnya jika sama-sama dihadapi dengan membenci. Ia hanya dapat ditaklukan dengan cinta kasih. Cinta kasih ini akan menumbuhkan kesabaran yang tinggi. Kesabaran ini memang pahit rasanya, namun buahnya manis, orang sabar dikasihi Tuhan. Sedang orang pemarah dikasihi setan. Pengetahuan, kebijaksanaan serta pengalaman hidup itu merupakan senjata yang dapat diandalkan untuk menaklukan kemarahan. Melalui akrodha dapat memberikan kemuliaan hidup kepada seseorang.

  1. 2. Guru Susrusa

Gurususrusa berarti bhakti berguru. Ada tiga jenis guru yang harus dibhakti atau dihormati. Pertama, orang harus berbhakti kepada guru rupaka, yaitu orang tua, ibu dan ayah. Orang hendaknya sadar betapa besar pengorbanan dan kasih sayang orang tua yang telah dicurahkan pada anaknya untuk memelihara dan mendidiknya. Orang yang durhaka terhadap orang tuanya tidak akan selamat hidupnya di dunia maupun akhirat kelak. Kedua, orang harus bhakti terhadap guru pengajian, yaitu orang yang mengajarkan bebagai ilmu pengetahuan dan mendidiknya, sehingga menjadi manusia yang berguna. Seseorang yang tidak berbhakti terhadap guru pengajiannya tidak akan berhasil menuntut ilmu pengetahuan dengan sempurna. Ketiga, orang harus bhakti kepada guru wisesa, yaitu pemerintah, karena pemerintah selalu memberikan pengayoman dan mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara sehingga tertib dan damai. Demikianlah orang harus berbhakti terhadap ketiga jenis guru tersebut ( disebut Tri Guru). Selain orang harus berbhakti terhadap tri guru tersebut, hendaknya pula berbhakti terhadap guru sejati yaitu Sanghyang Paramesti Guru. Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dari Beliaulah sumber segalanya ini. Jadi guru susrusa disini menuntun orang kepada kesucian hati dan kearifan.

  1. 3. Sauca

Sauca berarti kesucian lahir batin. Ini berarti badan harus bersih dan kebersihan badan akan mempengaruhi kebersihan jiwa. Dengan demikian maka badan harus dihindari dari sesuatu yang sekiranya akan dapat mencemarinya, seperti makanan, minuman, pakaian, barang-barang kimia, dan lainnya. Seringkali bila badan tersentuh nikmat benda akan meninggalkan kesan mendalam dalam pikiran dan bila berjumpa dengan sumber nikmat itu, akan timbul pula guncangan pikiran untuk ingin menikmati lagi. Ternyata bila dibiarkan pikiran itu akan manja dan badan akan dikoyak-koyaknya sampai dalam kelelahan. Karena itu pikiran harus juga suci dan kesucian pikiran akan mempengaruhi kesucian batin.

  1. 4. Aharalaghawa

Aharalaghawa artinya makan sepatutnya, sesuai dengan kebutuhan tubuh. Badan atau tubuh ini tidak akan ada jika tanpa makan atau minum. Karena tanpa itu manusia tidak akan bisa hidup bersama tubuhnya. Walaupun demikian, tidaklah berarti bahwa hidup ini untuk makan semata, tapi sebaliknya makan itu untuk menunjang kehidupan. Dalam hal makan, orang harus tau aturan makan, orang harus tau memilih makanan yang diperlukan tubuh, baik sebagai sumber tenaga juga sebagai sumber pembangunan organ tubuh yang rusak. Perlu diingat bahwa setiap makanan baik dan berguna bagi tubuh. Adakalanya makanan itu menjadi sumber penyakit tertentu. Untuk itu diperlukan memilih makanan yang sehat. Orang harus tau ukuran makanan yang akan dimakan agar tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan sehingga tidak menjadi sia-sia. Dalam hal makan, hendaknya orang tidak saja memperhatikan selera kenikmatan lidah semata, yang terpenting adalah kandungan gizi makanan tersebut. Dalam hal ini seseorang harus dapat mengendalikan Jihwendriyanya, yaitu indrya pada lidah. Jadi pada prinsipnya Aharalaghawa mengajarkan agar makan yang menyehatkan dan mengembangkan pola hidup sederhana untuk mencapai ketenangan dan kesucian hidup lahir batin.

  1. 5. Apramada

Apramada artinya tidak lalai. Kelalaian akan mngakibatkan dosa, malapetaka dan kehancuran. Kelalaian berarti tiada kesadaran. Meredupnya pancaran kesadaran berarti menebalnya kabut kegelapan yang menyelimuti sang jiwatma/kesadaran, yang selanjutnya membawa seseorang pada dosa. Kelalaian juga dapat menyebabkan malapetaka dan kehancuran. Orang sering lalai pada masalah-masalah yang tampaknya kecil namun bisa membawa resiko yang sangat besar. Ingatlah seperti virus, baksil dan bibit penyakit lainnya, yang tidak terlihat oleh mata telanjang, namun dapat membunuh berjuta umat manusia didunia. Demikianlah hendaknya agar seseorang senantiasa selalu waspada dan berhati-hati baik dalam berpikir. Berkata dan perbuatan, baik terhadap yang kecil maupun hal yang besar resikonya. Ketidaklalaian atau apramada ini menjaga dan mengawasi seseorang agar selamat dalam hidupnya untuk menuju pada alam kesadaran. Karena ketidak lalaian berarti senantiasa menjaga kesadaran itu sendiri.

Adapun sasana atau aturan-aturan yang dijelaskan dalam kitab Silakrama ini, memberikan suatu arahan dan tujuan agar seseorang pinandita hendaknya mampu memelihara kesucian didalam dirinya dalam mengemban tugas/misi suci Tuhan. Baik itu yang bersifat lahiriah yang dituangkan dalam ajaran yama brata, maupun yang bersifat batiniah yang dituangkan dalam ajaran Niyama Brata. Ajaran yama dan Niyama brata meletakkan dasar kode etik atau sasana, pada sistem disiplin diri. Apabila setiap individu telah tertanam disiplin pribadi yang kokoh, dengan sendirinya apa yang menjadi tujuan seseorang dalam menempuh kehidupan rohani akan terwujud kesuciannya.

Untuk melengkapi sasana pinandita ini, tidak ada salahnya bila disampaikan ajaran tentang Rwawelas Brataning Brahmana, yakni suatu ajaran yang berisikan duabelas macam syarat atau aturan hidup lahir dan bathin bagi para brahmana. Adapun keduabelas macam syarat atau aturan hidup ini, dimuat dalam kitab Sarasamuccaya sloka 57, yang menyebutkan sebagai berikut :

”Dharmacca satyam ca tapo damacca vimatsaritvam

Hristitiksanasuya, yajñacca danam ca dhritih ksama

Ca mahavratani dvadaca vai brahmanasya”.

Artinya :

Ini adalah brata sang Brahmana, duabelas banyaknya, Perincianya : Dharma, satya, tapa, dama,wimarsaritwa,hrih, titiksa, anusuya, yajña, dana, dhrti, ksama, itulah perinciannya sebanyak duabelas : dharma dari satyalah sumbernya, tapa artinya sarira sang sesana yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu : dama artinya tenang dan sabar, tahu menasehati dirinya sendiri. Wimatsaritwa artinya tidak dengki-irihati, hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya jangan sangat gusar, anasuya artinya tidak berbuat dosa, yajña adalah mempunyai kemauan mengadakan pemujaan; dana adalah memberikan sedekah, dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran, ksama artinya tahan sabar dan suka mengampuni ; itulah brata sang brahmana.

Demikian yang disebutkan dalam kitab Smrti Sarasamuccaya mengenai Rwawelas Brataning Brahmana, yang juga merupakan ketentuan/ syarat yang perlu dimiliki oleh para brahmana atau dalam hal ini oleh para sulinggih, termasuk didalamnya para pinandita.

V. Kewajiban dan Wewenang Pinandita

Di dalam konteks melaksanakan dharma negara dan dharma agama, para pinandita mengemban tugas dan misi suci Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Yang sangat mulia. Ada dua hal pokok yang menjadi tugas dan kewajiban pinandita yairu :

  1. a. Tugas seorang pinandita adalah berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama di masyarakat yang disebut jagaditha, dengan cara memberikan tuntunan rohani, pembinaan mental spiritual serta membantu kehidupan beragama dilingkungan masyarakat. Disinilah sesungguhnya arti penting daripada loka phala sraya yaitu menjadi sandaran umat dalam mewujudkan suatu kehidupan yang aman, sentosa dan sejahtera yang disebut dengan kasukerthan jagat. Disamping berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup umat, juga memohon keselamatan negara atau yang disebut dengan ngayasang jagat, dengan cara melakukan pemujaan setiap hari kepada Sang Hyan Widhi Wasa, sebagaimana yang dilaksanakan dalam surya sewana, yang memiliki dua sasaran dan tujuan. Pertama, menyucikan diri lahir batin dan kedua memohon keselamatan negara (ngayasang Jagat). Jadi di dalam pelaksanaan surya sewana seorang pandita, memohon ke hadapan Sanghyang Whidi Wasa, agar beliau Asung kertha nugraha baik kepada umat maupun negara tercinta, sehingga memperoleh apa yang disebut suka sadya lan rahayu.
  2. Kewajiban pinandita sebagai sulinggih ada sepuluh jumlahnya, yang disebut dengan Dasakramaparamartha, yakni :
  1. Tapa.

Teguh dan kuat pendirian dalam memuja Sang Hyang Widhi (Dewaarcana) dan melaksanakan dharmaning kawikon serta mengucapkan puja, japa, mantra dan Veda setiap hari.

  1. Brata.

Melaksanakan disiplin bathin, mengurangi makan (aharalagawa) dan mengurangi tidur, tidak melanggar pantangan, meninggalkan pengaruh panca indrya serta taat melaksanakan yama-niyama Brata.

  1. Yoga

Melatih pernafasan (pranayama), guna menyeimbangkan stula sarira dengan suksama sarira sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sanghyang Widhi Wasa, dan melebur dasamala pada diri.

  1. Samadhi

Memusatkan pikiran ditujukan kehadapan Sanghyang Widhi Wasa, sehingga tidak terpengaruh suatu kondisi luar (nirwikara).

  1. Santa

berpikir cemerlang dan berpenampilan yang tenang.

  1. Sanmata

berperasaan yang riang dan gembira meskipun dalam menghadapi cobaan-cobaan hidup.

  1. Maitri

senang mengatakan yang baik dan benar serta berprilaku yang baik dan santun.

  1. Karuna

senang bertukar pikiran dengan sesama. Baik dengan hal yang bersifat wahya, maupun dengan hal-hal yang bersifat adhyatmika dan mengasihi sarwa tumuwuh atau semua mahluk.

  1. Upeksa

tahu tentang perbuatan baik dan buruk, perbuatan benar dan salah serta suka memberi petunjuk kepada orang yang belum memahami arti baik atau buruk.

  1. Mudhita

mencintai kebenaran dan memiliki budi pekerti yang luhurcemerlang dalam kehidupan.

Disamping itu seoarang pinandita/pemangku mempunyai tugas dan kewajiban untuk: mengantarkan upacara yang diselenggarakan di pura/merajannya, menuntun warganya dalam pendalaman Dharma, dan menjaga kebersihan dan kesucian pura/merajan.

Demikian diungkapkan di sini mengenai tugas dan kewajiban pinandita, yang patut ditekuni di dalam melaksanakan dharmanya sebagai sulinggih.

VI. Wewenang Pinandita

Walaupun status pinandita sebagai wakil pandita, tentunya memiliki kewenangan didalam menyelesaikan upacara/upakara (yajña) sepanjang tidak bersifat prinsipil dan inipun atas seijin dan petunjuk pandita atau nabe yang bersangkutan. Adapun mengenai tingkat upacara yang dilaksanakan terbatas pada tingkat pedudusan alit. Kewenangan lain yang ada pada seorang pandita yakni dalam upacara-upacara seperti :

  1. menyelesaikan upacara Bhuta Yajña, sampai dengan tingkat menggunakan Caru Panca Sata.
  2. Menyelesaikan upacara Manusa Yajña, diberi wewenang dari mulai bayi lahir sampai dengan otonan dan pawidi widana tingkat kecil.
  3. Didalam menyelesaikan upacara Pitra Yajña, terbatas sampai dengan mendem sawa (mekingsan Gni).
  4. Membuat tirtha panglukatan/pabersihan
  5. Nganteb upakara piodalan/pujawali di pura/merajan yang diemongnya sampai batas ayaban tertentu.
  6. Nganteb upakara pada upacara/yajña tertentu di lingkungan keluarga dengan tirtha pamuput dari pandita
  7. Istilah yang digunakan oleh pinandita adalah “Nganteb” bukan “muput”.
  8. Membantu pelaksanaan yajña tertentu dari pinandita suatu pura dengan seijinnya
  9. Menggunakan Genta
  10. Menggunakan mantra, dan mudra tertentu bila sudah mewinten dengan ayaban bebangkit serta sudah mendapat bimbingan dan ijin dari pandita

Adapun mengenai busana yang dipergunakan berikut perlengkapan dari seorang pinandita antara lain :

  1. rambut panjang atau bercukur.
  2. Pakaian: destar, baju, saput (selimut), kain dalam melakukan upacara, semuanya berwarna putih.
  3. Dalam melakukan pemujaan menggunakan: genta, dulang, pasepan, sangku ( tempat air suci atau tirtha ) bunga, Gandaksata.

Sedangkan penghargaan yang menjadi hak pemangku/pinandita adalah:

  1. Bebas dari ayahan desa
  2. menerima sesari/bagian sesari
  3. menerima hasil pelaba pura (bila ada)

VII. Disiplin Pinandita/Pemangku:

  1. Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (bathiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan
  2. Berpakaian sesuai dengan sesana kepinanditaan/kepemangkuan
  3. Mempunyai perlengkapan pemujaan: sebuah dulang, diatasnya ada ; genta, tempat dupa, pasepan, sangku, sesirat dari daun lalng, caratan tempat air bersih, botol tetabuhan, canting, dan bunga. Sebuah kekasang dan Genitri.
  4. Aturan kecuntakaan bagi Pemangku;
    1. Tidak kena cuntaka karena orang lain
    2. Terkena cuntaka bila ada anggota keluarga yang serumah meninggal dunia
    3. Pemangku istri terkena cuntaka bila haid
  5. Bila kawin.menikah harus mesepuh (mewinten ulang) dengan tingkat ayaban yang sama seperti sebelumnya, bersama-sama istrinya.
  6. Pemangku yang dihukum karena tindak pidana (kriminal) diberhentikan sebgai pemangku oleh warganya.
  7. Jenasah pemangku tidak boleh dipendem.
  8. Tidak cemer: memikul, nyuwun, sesuatu yang tidak patut, nganggur di warung, metajen/berjudi, mabuk-mabukkan, melanggar Tri Kaya Parisuddha, anayub cor, tidak meminta makannan/minuman di rumah yang sedang cuntaka, mengusung mayat, diungkulin oleh orang yang mengusung mayat atau orang yang nyuwun tirtha pangentas, memikul bajak orang lain, menarik sapi, menginjak tahi sapi, membuang hajat di air, mewarih di abu/apai/air, memakan makanan yang tidak patut, tidak sekamar dengan istri yang sedang haid. (Sumber: Indik Kepemangkuan, Tim Penyusun Buku-buku Agama Hindu Pemda TK I Bali: 1991)

VIII. Kesimpulan

  1. Kita wajib bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi karena atas waranugrahaNya Atman telah re-inkarnasi ke dalam tubuh manusia, yang mempunyai sabda, bhayu, dan idep. Dibandingkan dengan binatang yang mempunyai sabda dan bhayu, apalagi tumbuhan yang hanya memiliki bhayu saja.
  2. 2. Pemangku wajib bersyukur karena telah ditakdirkan menjadi manusia suci. Seoarang pemangku/pinandita tidak begitu saja bisa menjadi pemangku. Menurut Rontal Yama Purana Tattwa, hidup dan kehidupan manusia sudah direncanakan jauh sebelum re-inkarnasi. Oleh karena itu janganlah menganggap bahwa menjadi pemangku itu suatu ”kebetulan”
  3. Menjadi pemangku adalah suatu kebanggan, karena: 1) menjadi tapakan Widhi, disayang oleh Ida Sang Hyang Widhi/Dewata/Bhatara, 2) mempunyai kesempatan yang luas untuk mensucikan diri di jalan Dharma agar mencapai Moksartham Jagadhita, 3) mempunyai tugas suci mengabdi kepada masyarakat, sebagai tabungan membentuk karma wasana yang baik.
  4. Oleh karena menjadi kesayangan Ida Sang Hyang Widhi/ Dewata/ Bhatara, pertahankanlah agar tugas suci ini dapat terlaksana dengan baik, menjadi pemangku yang profesional, sehingga mengharumkan linggih Ida Bhatara Sasuhunan. Kehidupan pemangku adalah hidup suci dan berdisiplin.
  5. Pemangku yang melaksanakan tugasnya dan kehidupannya dengan baik akan mendapat karma yang baik tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi arwah leluhurnya, sampai tujuh tingkat ke atas (Rontal Yama Purana Tattwa)
  6. Pemangku adalah pengabdi: pengabdi Ida Sang Hyang Widhi dan pengabdi umat manusia. Oleh karena itu dahulukan tugas/kewajiban dari pada hak
  7. Untuk dapat menjadi pengabdi yang baik , pengetahuan mengenai Tattwa, susila, dan acara agama (upakara/upacara) harus dikuasai dengan cara belajar. Belajarlah dari guru yang baik, buku, rontal, dharma wacana, kursus/pelatihan, apa saja yang dapat menambah pengetahuan, karena menurut Rontal Dharma Kauripan, Sulinggih yang baik adalah Sulinggih yang ”berilmu”
  8. Pelajar akan cepat mencapai kemajuan bila mempunyai sifat-sifat dan pemikiran, seperti: tidak merasa diri pintar, rendah hati, tidak fanatik, tidak sombong, mau mendengarkan pendapat orang lain, rajin dan disiplin, menghargai orang lain, berpikir kreatif dan berinisiatif, obyektif dan jujur, pandai mengambil keputusan (Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, 2000: 4).

IX. Penutup

Demikian secara singkat makalah ini dapat disampaikan, dengan harapan dapat menjadi lentera kecil yang akan memberikan secercah cahaya kesucian kepada para pemangku/pinandita yang dengan tulus hati telah mau mengabdikan dirinya bagi kebenaran. Semoga melalui subha karma para pemangku/pinandita kesadaran umat Hindu untuk mau mempelajari, menghayati dan mengamalkan Veda semakin semarak dan mendalam.

Om purnam adah purnam idam

Purnat purnam udhcyate

Purnasya purna ma dhaya

Purnam iva vasisyate

Om sarve bhavantu sukhinah

Sarve santu niramayah

Sarve bhadrani pa syantu

Ma kascit duhkha bhag bhavet

Om Santih, Santih, Santih